Kamis 16 Jan 2020 01:03 WIB

YLBHI Nilai Pelanggaran HAM Makin Buruk

YLBHI memperkirakan tahun 2020 akan menjadi tahun yang mengancam kehidupan warga.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Umum YLBHI Asfinawati menilai di tahun 2020 pelanggaran HAM di Tanah Air tidak lebih baik dari sebelumnya.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum YLBHI Asfinawati menilai di tahun 2020 pelanggaran HAM di Tanah Air tidak lebih baik dari sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memprediksi 2020 akan menjadi tahun yang mengancam hak asasi manusia (HAM) rakyat atau warga Indonesia. Terdapat beberapa indikator untuk menyatakan hal tersebut.

"Memburuk (dari tahun sebelumnya). Sehingga kami memproyeksikan tahun 2020 akan menjadi tahun yang mengancam kehidupan rakyat atau warga," jelas Ketua YLBHI, Asfinawati, di Jakarta Pusat, Rabu (15/1).

Baca Juga

Asfinawati melihat ada beberapa indikator yang menyebabkan pihaknya memprediksi hal tersebut. Pertama, terdapat hilangnya nyawa yang sangat besar untuk sesuatu hal yang mulanya umum dilakukan, yaitu hak menyampaikan pendapat di muka umum.

"Indonesia sejak tahun 1998 sudah memiliki Undang-Undang (UU) Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan di UU itu dikatakan, polisi harus menjaga orang yang demonstrasi karena demontrasi adalah hak," katanya.

Berdasarkan catatan YLBHI, selama 2019 tercatat telah terjadi sebanyak 53 kasus pelanggaran kemerdekaan berekspresi. Selain itu, ada pula 32 kasus pelanggaran kemerdekaan berkumpul dan dua kasus pelanggaran kemerdekaan berserikat.

Dari jumlah tersebut terdapat beberapa modus pelanggaran umum yang dilakukan. Modus pelanggaran tersebut di antaranya kriminalisasi, penghalangan kegiatan, razia, dan pembubaran paksa kegiatan.

Persentase terbesar dari penggunaan modus tersebut ialah modus kriminalsisasi, yakni mencapai 51 persen. Modus kriminlaisasi itu dilakukan mulai dari penangkapan sewenang-wenang, pemeriksaan, sampai dengan menjadikan tersangka atau terdakwa.

Asfinawati menyebutkan, indikator kedua, yakni tingginya kasus kriminalisasi terhadap pembela HAM. Menurutnya, jika pembela HAM demi hukum saja mendapatkan serangan atau kriminalisasi, apalagi yang dibela oleh mereka.

"Padahal seorang advokat itu dia lakukan pembelaan itu adalah bagian dari tugas UU, dijamin UU," katanya.

Indikator berikutnya, yakni terjadi krimnialsasi yang sangat tinggi pada kasus-kasus fair trial. Kasus pelanggaran HAM pada fair trial, kata dia, juga meningkat baik angka maupun polanya. Hal tersebut penting untuk disoroti.

"Artinya pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di peradilan. Peradilan itu adalah tempat mencari pemulihan, mencari hak yang dilanggar. Kalau tempat mencarinya saja terjadi pelanggaran HAM, ya gimana lagi?" ujar dia.

Indikator berikutnya, yakni terkait dengan hak kebebasan politik. Menurutnya, apa yang terjadi pada 2019 serupa dengan masa Orde Baru (Orba). Ketika Orba, jelas dia, masyarakat diberi tahu memilih dalam pemilu ialah kewajiban.

"Kalimat itu kita dengar kembali tahun 2019 yang disampaikan oleh Menkopolhukam (Wiranto). Ini narasi Orba yang sudah diganti ketika reformasi dengan mengatakan, (warga negara) memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Tapi Menkopolhukam memopulerkan lagi itu," jelas dia.

Terkait dengan kasus pelanggaran HAM di fair trial atau pengadilan yang adil, Ketua YLBHI Bidang Advokasi, Muhammad Isnur, memberikan beberapa data peningkatan pelanggaran dari tahun 2018. Pada 2018 tercatat ada 144 pelanggaran, sedangkan pada 2019 ada 169 kasus pelanggaran fair trial.

"Jadi ini dari segi kuantitas meningkat. Di isu penyiksaan, ada 29 kasus (pada 2018). Sekarang 56. Jadi hampir meningkat 100 persen penyiksaan oleh aparat kemanan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement