Rabu 29 Jan 2020 14:55 WIB

Saat KH Alie Yafie Bicara Soal Fikih Lingkungan Hidup

KH Alie Yafie sebut sejak Islam ada, sudah ada fiqih lingkungan hidup.

Red: Muhammad Hafil
Saat KH Alie Yafie Bicara Soal Fiqih Lingkungan Hidup . Foto: Ilustrasi Hutan
Foto: ANTARA FOTO
Saat KH Alie Yafie Bicara Soal Fiqih Lingkungan Hidup . Foto: Ilustrasi Hutan

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Islam mengajarkan hidup selaras dengan alam. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang bercerita tentang lingkungan hidup. Dan kitab fiqih yang menjadi penjabaran keduanya, masalah lingkungan ini masuk dalam bidang jinayat (hukum). "Artinya, kalau sampai ada seseorang menggunduli hutan dan merusak hutan, itu harus diberlakukan sanksi yang tegas. Harus dicegah. Harus dihukum,'' ujar mantan Rois A'am Nahdlatul Ulama, Prof KH Ali Yafie kepada Republika beberapa tahun lalu.

Kepada  Republika, penulis buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup ini bertutur banyak tentang kearifan terhadap alam menurut ajaran Islam. Berikut ini petikannya:

Baca Juga

Bagaimana Islam melihat alam?

Ada dua ajaran dasar yang harus diperhatikan umat Islam. Dua ajaran dasar itu merupakan dua kutub di mana manusia hidup. Yang pertama, rabbul'alamin. Islam mengajar bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam. Jadi bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia, bukan itu. Dari awal manusia yang bersedia mendengarkan ajaran Islam sudah dibuka wawasannya begitu luas bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Orang Islam tidak boleh berpikiran picik, Allah SWT bukan saja Tuhan kelompok mereka, Tuhan manusia, melainkan Tuhan seluruh alam. Jadi Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua alam. Dan alam di hadapan Tuhan, sama. Semuanya dilayani oleh Allah, dilayani oleh Allah sama dengan manusia. Itu dasar pertama.

Kutub yang kedua adalah rahmatan lil'alamin. Artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh alam. Kalau manusia bertindak dalam semua tindakannya berdasarkan kasih sayangnya kepada seluruh alam, tidak saja sesama manusia, namun juga kepada seluruh alam.

Dalam Alquran ada ayat yang mengatakan ''Laa tufsiduu fil ardhi ba'da ishlahiha" (jangan merusak alam ini, merusak bumi ini sesudah ditata sedemikian baik). Sekarang orang mengatakan teorinya keseimbangan, itu sebenarnya yang dimaksud dengan kata-kata ba'da ishlaahiha.  Jadi kalau berbicara mengenai lingkungan alam, itu bagi Islam sejak awal sudah dibicarakan. Dunia Barat, dunia modern baru ribu dengan masalah lingkungan alam baru di penghujung abad ke-20. Sebelumnya mereka sudah merusak alam.

Artinya, seorang Muslim yang benar-benar meyakini Alquran dan hadis, dia tidak akan sewenang-wenang terhadap alam?

Ya, tentu kalau memang dia memahami kandungan Alquran dan hadis dengan baik. Kalau dia bisa memahami makna rabbal'alamin dan rahmatan lil'alamin dengan baik, sudah pasti dia tidak akan merusak alam lingkungan. Dan memang tidak ada sejarahnya umat Islam sejak jaman Nabi Muhammad SAW yang merusak alam. Bahkan, dalam pelaksanaan ibadah haji, seseorang yang berihram dilarang untuk mencabut pohon, tidak boleh membunuh binatang. Itu jelas satu implementasi dari pada ajaran dasar tadi itu. Di sana itu hanya latihan. Kemudian untuk dilakukan selamanya di tengah masyarakat. Jadi harus dipahami seperti itu.

Judul buku Anda Merintis Fiqh Lingkungan, kesannya kok baru "digagas" sebuah fikih tentang lingkungan?

Sejak Islam ada, ya sudah ada fiqih lingkungan. Cuma tidak dibahasakan menurut bahasa sekarang. Semua kitab fiqih yang namanya kitab kuning memuat tentang lingkungan. Rujukan buku saya itu ya kitab kuning. Ada dua kendalanya, yakni proses beribadah yang tiga tingkat. Itu yang tidak dijelaskan. yang kedua, kitab-kitab kuning yang rinci mengenai lingkungan hidup tidak dibahasakan menurut bahasa sekarang. Yang namanya kitab fikih itu adalah penjabaran dari Alquran dan hadis di dalam empat bidang kehidupan. Pertama namanya ibadat, yakni tata cara beribadah. Kedua muamalat tentang hubungan antar manusia. Ketiga munakahat pembinaan keluarga dan keempat jinayat penegakan hukum. Nah, masalah lingkungan ini masuk dalam bidang jinayat. Artinya, kalau sampai ada seseorang menggunduli hutan dan merusak hutan, itu harus diberlakukan sanksi yang tegas. Harus dicegah. Harus dihukum.

Sayang, dalam bidang keempat ini banyak yang tidak memahaminya ya?

Betul. Banyak yang tidak memahami soal jinayat. Kebanyakan orang memahami jinayat itu adalah hukuman Islam yang kejam-kejam seperti potong tangan, rajam. Itu yang dipahami oleh kebanyakan orang. Mereka tidak memahami, kalau membalak hutan, membakar hutan itu termasuk jinayat juga. Jadi perlu ada penegakan hukum. Jika selama ini ada lima komponen hidup yang harus dipelihara oleh seluruh manusia yakni hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul maal (menjaga harta), hifdzul nasl (menjaga keturunan) dan hifdzud diin (menjaga agama). Saya ini menggali bahwa termasuk sekarang ini menjadi masalah besar dan harus diberi tempat perkembangannya yaitu kerusakan lingkungan hidup. Jadi kalau kita dalam kaidah mengatakan perlu ada hifdzul nafs atau hifdzud diin, maka sekarang ini patut kita masukkan ke dasar agama adalah hifdzul bi-ah (memelihara lingkungan hidup). Itu kepentingan kehidupan manusia. Seluruh manusia berkepentingan terhadap kebersihan lingkungan, terhadap keselamatan lingkungan. Ini yang saya coba gali.

Memang di dalam agama itu ada tiga tingkatan atau tiga proses yang harus dilalui sehingga tuntas. Pertama adalah ta'abbud artinya kita melakukan shalat, puasa atau haji hanyalah ta'abbud artinya sebagai menyatakan kepatuhan kita terhadap petunjuk Allah. Itu tingkat pertama dan itu semua orang lakukan. Ada dua tingkat lagi yang sangat menentukan. Sesudah ta'abbud mesti ada lagi tingkatan ta'aqqul artinya menggunakan otak untuk memahami ibadah. Kita disuruh wudlu untuk apa? Supaya bersih. Kita disuruh berpakaian untuk apa? Agar menjadi manusia terhormat, karena aurat kita terjaga. Itu namanya penghayatan agama. Tingkat ketiga yang paling menentukan adalah takhalluq artinya ibadah harus dijadikan sebagai perilaku. Ibadah itu harus dijadikan sebagai akhlak. Kita sayangkan, misalnya mempelajari bab thaharah, tapi hanya kalau mau shalat. Thaharah tidak dijadikan sebagai akhlak.

Padahal sebenarnya pada bab thaharah pun sudah berbicara soal kebersihan lingkungan. Coba kita lihat soal adab membuang air kecil atau air besar. Tidak boleh membuang air kecil apalagi air besar pada air yang tidak mengalir. Tidak boleh membuang air kecil apalagi air besar di bawah pohon yang rindang, karena itu tempat orang berteduh. Kalau Anda selalu buang air di sana, tak ada orang yang mendekati pohon itu. Akhirnya pohon tidak terpelihara dan matilah. Sayangnya tidak dikaji sejauh itu.

*Wawancara ini pernah dimuat di Harian Republika pada 9 Februari 2007 dengan judul Menjaga Alam Wajib Hukumnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement