Rabu 12 Feb 2020 17:35 WIB

Polusi Jakarta dan Tingginya Kegagalan Fungsi Paru Warganya

Sebanyak 60 persen masalah polusi udara akan berdampak pada kesehatan warga.

Red: Indira Rezkisari
Kabut polusi udara menyelimuti kawasan Jakarta. Polusi udara memiliki dampak buruh bagi kesehatan, salah satunya menimbulkan masalah di paru-paru.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Kabut polusi udara menyelimuti kawasan Jakarta. Polusi udara memiliki dampak buruh bagi kesehatan, salah satunya menimbulkan masalah di paru-paru.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah

Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Studi Kesehatan Lingkungan dan Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI), menyebutkan masalah pencemaran udara 60 persennya berdampak pada kesehatan. Angka kegagalan fungsi paru warga di Jakarta pun ditengarai semakin tinggi. Penyebabnya adalah tingginya angka polusi udara di Jakarta dari tahun ke tahun.

Baca Juga

Peneliti dan Kepala Pusat Studi Kesehatan Lingkungan dan Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI), Budi Haryanto, mengungkapkan masalah pencemaran udara di banyak tempat, tidak terkecuali di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, 60 persen ujungnya berdampak pada kesehatan.

Budi mengungkapkan survei dilakukan oleh para mahasiswanya di dua lokasi di Pulo Gadung dan Kampung Melayu. Di kawasan sekitar pabrik Pulo Gadung, diambil sampel 200-an ibu-ibu yang tinggal di kawasan Pulo Gadung. Dan di Kampung Melayu, mengambil sampel sopir angkutan kota.

"Alhasil ditemukan 39 persen ibu-ibu rumah tangga di sana terganggu fungsi parunya, akibat asap pabrik. Sedangkan survei juga menemukan para sopir angkot di Kampung Melayu, menunjukkan, kemungkinan indikator pola stres jauh lebih besar, dikarenakan temuan kegagalan fungsi paru," ungkap Budi kepada wartawan saat pemaparan Perkembangan Polusi Udara di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (12/2).

Selain warga Jakarta, Budi mengungkapkan mahasiswanya juga meneliti warga kota Tangerang dan Makassar, dengan mengumpulkan sampel 400 orang lebih di Tangerang dan di Makassar hampir 300 orang. Hasilnya ditemukan warga di kedua kota tersebut fungsi paru-parunya yang terganggu lebih dari 80 persen. "Artinya, perumpamaannya dari 10 orang, delapan orang terindikasi kegagalan fungsi paru-paru," ungkap Budi.

Menurut dia, sebenarnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memprediksi hal ini. Bahwa pada 2010-2030 akan ada kecenderungan peningkatan kematian akibat kegagalan fungsi paru bersumber dari pencemaran udara. Khususnya terjadi pada negara-negara yang minim pengendalian polusi udara dan manajemen transportasi yang buruk.

Budi menyebut dari 100 persen pencemar polusi udara di Jakarta dan sekitarnya 70-80 persennya disumbang oleh asap kendaraan bermotor. Ia mengatakan asap kendaraan bermotor cenderung lebih berbahaya karena lebih mudah terpapar ke masyarakat dan pengguna kendaraan, dibandingkan asap dari cerobong pabrik.

"Pencemaran udara 60 persennya berdampak pada kesehatan. Sumber utama polutan, CO (Karbon Monoksida), (Particulate Matter) PM 10 dan PM 2,5 dan BBM bertimbal, Nitrogen oksidan NO2 (Nitrogen Dioksida), Ozon, Sulfur (BBM Diesel)," terangnya.

photo
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Karena itu ia menekankan untuk mengatasi jangka panjang soal polusi udara ini, harus ada manajemen transportasi umum yang baik dan ramah lingkungan. Manajemen transportasi yang bisa menjamin kendaraan bermotor tidak terjebak macet, dan bergerak rata rata kecepatan di antara 30-110 kilometer per jam.

Sebab, papar dia, kendaraan dengan kecepatan tinggi emisinya cenderung nol. Namun bila kendaraan bermotor dengan kecepatan di bawah 20 kilometer per jam, yang terjadi adalah pembakaran mesin yang tidak sempurna, akibatnya zat karbon dan polutan udara (PM10 dan PM2,5) yang dikeluarkan lebih besar.

Kemudian polutan-polutan itu akan menyebabkan masalah kesehatan, jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah jangka pendek yang paling terasa adalah batuk dan pernapasan terganggu. Masalah jangka panjang bisa menyebabkan kanker hingga kematian. Dalam jangka panjang, polutan tersebut terakumulasi di dalam tubuh, sehingga mengendap di organ tubuh bisa merubah jadi sel kanker dan menyebabkan kematian.

Diakui dia, hal ini sebenarnya sudah disadari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dinas Perhubungan DKI menyadari 60-70 persen kendaraan bermotor menyumbang polusi udara. Keterdesakan mengatasi polusi udara yang kian parah ini, membuat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.

Instruksi tersebut diteken tepat saat sidang perdana gugatan warga negara di PN Jakarta Pusat terkait kualitas udara yang buruk di Jakarta digelar pada 1 Agustus 2019. Setidaknya terdapat tujuh instruksi yang Anies berikan kepada jajarannya tersebut seperti peremajaan kendaraan angkutan umum dan integrasi Jak Lingko 2020.

Selain itu juga perluasan ganjil genap, memperketat uji emisi untuk kendaraan pribadi, peralihan moda transportasi dan pembangunan fasilitas umum. Kemudian pemantauan cerobong industri aktif dan pembangkit listrik, memperbanyak tanaman berdaya serap polutan tinggi, dan pengembangan solar panel pada fasilitas umum.

"Kita menyadari banyak tantangan mengenai kualitas udara, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah mendorong menggunakan kendaraan yang tidak menimbulkan polusi atau bebas emisi," kata Anies.

Menilik sepanjang tahun 2019, melalui Ingub tersebut, terdapat beberapa kinerja pengurangan masalah polusi udara yang patut menjadi perhatian. Misalnya, revitalisasi transportasi massal, perluasan kawasan aturan ganjil genap, hingga keringanan pajak mobil listrik agar kendaraan ini mudah mengaspal di DKI Jakarta.

photo
Sejumlah kendaraan melintas di jalan Tol Pondok Pinang-TMII dengan berlatar belakang gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta Selatan, Selasa (2/7/2019).

Dikutip dari Channel News Asia, kualitas udara yang buruk sebenarnya bukan barang baru bagi Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, udara Jakarta sudah terpapar polusi parah bertahun-tahun lamanya.

Di tahun 2017, Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia yang memiliki stasiun monitoring kualitas udara di atas gedung Kedutaannya dan di kediaman Duta Besarnya mencatat Jakarta hanya memiliki 26 hari dengan kualitas udara yang masuk kategori baik.

Waktu udara baik tersebut umumnya terjadi di musim hujan. Tepatnya ketika hujan sedang turun lebat. Di paruh pertama tahun 2019, hanya 10 hari Jakarta tercatat memiliki kualitas udara yang sehat.

Buruknya kualitas udara tak hanya berdampak ke kesehatan. Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Safrudin, mengatakan kabut polusi yang mencemari udara berdampak terhadap perubahan iklim. "Dampak ini cukup besar dari sektor transportasi," kata Ahmad Safrudin, beberapa waktu lalu.

Dia mengungkapkan parameter pencemaran karbon monoksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Karbon monoksida terbentuk akibat proses pembakaran yang tidak sempurna.

Gas ini merupakan salah satu penyumbang terbesar terjadinya efek rumah kaca yang berdampak terhadap perubahan iklim.

Di Jakarta, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan bensin untuk kendaraan bermotor sekitar 18 juta-20 juta kiloliter per tahun. "Emisi gas rumah kaca terkait perubahan iklim sekitar 50 juta ton karbon monoksida, sementara angka nasional sekitar 173 juta ton dari sektor transportasi per tahun," paparnya.

Ahmad mengungkapkan bahwa emisi karbon monoksida yang ada di langit Jakarta dapat memperbesar gas rumah kaca, meningkatkan suhu rata-rata permukaan yang ujungnya menyebabkan perubahan iklim. Kondisi perubahan iklim yang terjadi akibat percemaran udara itu merujuk pada perubahan keadaan rata-rata iklim secara signifikan dalam hitungan periode panjang.

photo
Infografis masker pelindung polusi udara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement