Ahad 01 Mar 2020 05:00 WIB

Jadi Guru Besar UI, Prof Widya Komitmen Tangani Isu Glaukoma

Glaukoma masuk dalam kategori penyakit mata yang bersifat kronik dan membutakan.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K) saat memberikan pidato mengenai glaukoma.
Foto: Dok. Ist
Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K) saat memberikan pidato mengenai glaukoma.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K) berkomitmen mengatasi tantangan masa depan layanan glaukoma Indonesia. Hal tersebut ia ungkapkan seusai ditetapkan sebagai guru besar tetap Fakultas Kedokteran UI di Aula IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute) FKUI di bilangan Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (29/2).

 

Staf pengajar di FKUI Departemen Mata dan juga dokter spesialis mata yang berpraktek di JEC Eye Hospitals and Clinics ini menyampaikan pidato bertajuk “Mengatasi Tantangan Masa Depan Layanan Glaukoma di Indonesia: Optimalisasi Intervensi Bedah Glaukoma.” 

 

Dia mengungkapkan, hasil survei Rapid Assesment of Avoidable Blindness (RAAB) pada 15 propinsi di Indonesia periode 2014-2016 mendapatkan perkiraan rerata angka kebutaan sebesar 3% pada populasi penduduk yang berusia di atas 50 tahun. Glaukoma merupakan salah satu dari lima penyebab kebutaan terbesar, baik di dunia maupun di Indonesia. 

 

Glaukoma masuk dalam kategori penyakit yang bersifat kronik dan membutakan, serta berdampak terhadap kualitas hidup dengan signifikan. Menurut dia, ini idak hanya karena gangguan penglihatan yang disebabkannya, namun juga akibat kebutuhan akan pengobatan yang intensif, berkepanjangan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 

 

Di Indonesia, kata dia, permasalahan glaukoma masih memprihatinkan karena pasien seringkali mencari pengobatan pada stadium lanjut dan penglihatan pada glaukoma sudah terganggu. Berbeda dengan penderita katarak yang dapat direhabilitasi melalui operasi untuk mengembalikan fungsi penglihatan, pasien glaukoma mengalami kerusakan pada saraf optik yang menyebabkan gangguan pada lapang pandang.

 

Gangguang tersebut sangat khas dan sifatnya permanen atau tidak dapat diperbaiki (irreversible). Penderita umumnya tidak menyadari tanda-tanda awal glaukoma, sehingga baru memeriksakan diri ketika kondisi sudah sangat parah dan bahkan sudah mengalami kebutaan. 

 

Pada kondisi ini, kata dia, lapang penglihatan pasien sudah menyempit, seperti melihat dari lubang kunci atau bahkan sudah mengalami kebutaan. Glaukoma disebut juga sebagai ’si pencuri penglihatan’ karena gejala dapat baru dikeluhkan saat glaukoma sudah pada tahap lanjut.

 

"Hal inilah yang membuat para dokter spesialis mata mengajak masyarakat untuk lebih memahami pentingnya deteksi dini dan terapi yang tepat pada kesehatan mata. Apabila terdeteksi glaukoma, maka dapat diambil langkah yang paling tepat dalam mencegah kebutaan akibat glaukoma," kata dia.

 

Prof Widya mengatakan, dengan melakukan penatalaksanaan glaukoma sedini mungkin, progresivitas glaukoma diharapkan dapat dikontrol dan kerusakan saraf mata yang terjadi dapat diperlambat, sehingga dapat mencegah hilangnya penglihatan (kebutaan).

 

Menurut dia, sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan glaukoma secara total, namun dengan pemeriksaan yang menyeluruh dapat ditentukan terapi yang tepat untuk mengontrol progresivitas penyakit. Pasien harus menjalani pemeriksaan dan kontrol seumur hidup, juga penyesuaian obat atau tindakan tambahan tergantung pada kondisi glaukoma. Pengobatan glaukoma dapat meliputi tatalaksana dengan obat-obatan, terapi laser dan operasi glaukoma.

 

"Berangkat dari permasalahan glaukoma di Indonesia dan tantangan dalam penatalaksanaan pasien glaukoma yang dihadapi para dokter spesialis mata, Prof. Dr. saya melakukan penelitian terkait hal tersebut," ujarnya. 

 

Dia melihat salah satu solusi kunci untuk mengatasi tantangan glaukoma di Indonesia adalah melalui pengembangan sumber daya yang sudah ada. Ini mencakup peningkatan keterampilan dokter mata umum dalam melakukan pembedahan primer glaukoma serta peningkatan keterampilan dokter umum sebagai ujung tombak layanan kesehatan untuk melakukan skrining dan diagnosis glaukoma dengan tepat sejak stadium awal penyakit. 

 

"Selain itu, untuk menjawab tantangan glaukoma dalam sifatnya sebagai penyakit degeneratif yang terus meningkat dan menurunkan beban finansial kesehatan makro atas glaukoma, dunia kesehatan mata di Indonesia harus melakukan integrasi revolusi industri 4.0 melalui pemanfaatan teknologi, modernisasi sistem akses, dan pengelolaan data digital (cyber physical systems) ke dalam solusinya," ujar Prof Widya.

 

Prof Widyamerupakan salah satu dokter spesialis mata senior di JEC yang memiliki spesialisasi dalam bidang glaukoma. JEC telah membuka Glaukoma Service, yang mengkhususkan dalam penyediaan perawatan komprehensif bagi pasien glaukoma, dengan dukungan 12 dokter spesialis glaukoma dan tenaga medis yang mumpuni, serta penggunaan perangkat berteknologi terkini. 

 

Mulai dari pemeriksaan tekanan bola mata dengan akurasi yang sangat tinggi (Goldmann Applanation Tonometry), evaluasi struktur saraf mata (Optical Coherence Tomography dan Heidelberg Retinal Tomography), pemeriksaan luas lapang pandang (Humphrey Visual Field Perimetry), pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioscopy), hingga pemeriksaan ketebalan kornea mata (pachymetry). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement