Rabu 04 Mar 2020 09:08 WIB

Perludem Minta Pilkada Serentak tak Digelar Bersama Pemilu 2024

penyelenggaraan pemilu nasional serentak dengan pilkada akan menimbulkan berbagai persoalan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID. JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tak digelar bersamaan dengan pemilihan umum (pemilu) 2024. Berdasarkan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bagi daerah dengan masa jabatan kepala daerah yang habis pada 2022 dan 2023 akan dilakukan pilkada serentak pada 2024.

Namun, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai penyelenggaraan pemilu nasional serentak dengan pilkada akan menimbulkan berbagai persoalan. Apalagi, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 membuka peninjauan model lima kotak suara yang berlaku pada Pemilu 2019 lalu.

"Kalau melihat realita penyelenggaraan pemilu di 2019, lalu putusan Mahkamah Konstitusi 55/PUU-XVII/2019, kami sendiri di Perludem menganggap tidak layak dan kurang rasional dan logis kalau kita memaksakan pilkada serentak nasional itu tetap pada tahun 2024," ujar Titi kepada wartawan, Selasa (3/3).

Ia mengatakan, fokus penyelenggara pemilu pun akan terbelah karena tahapan pemilu nasional dan pilkada akan beririsan. Sebab, sebanyak 272 provinsi maupun kabupaten/kota akan melangsungkan pilkada serentak di 2024 dengan rincian 101 daerah yang seharusnya melangsungkan pilkada di 2017 dan 171 daerah yang pilkada di 2018.

Di samping penyusunan kembali model pemilu serentak, Perludem mengkhawatirkan jika pilkada serentak dilakukan di Pemilu 2024 akan terjadi sebuah kompleksitas dan kekacauan dalam teknis dan proses kepemiluan seperti Pemilu 2019. Berkaca pada pemilu sebelumnya, sengketa pemilihan presiden (pilpres) masih terus berlangsung beberapa bulan setelah hari pemungutan suara.

Lalu ia mempertanyakan kondisi tahapan yang juga tengah berlangsung untuk melaksanakan pilkada serentak ketika terjadi pergolakan sengketa pilpres dan belum lagi sengketa pemilihan legislatif (pileg). Titi mengkhawatirkan konsentrasi penyelenggara pemilu dan masyarakat.

Maka, Titi mendorong DPR RI dan pemerintah segera melakukan kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada mengingat revisi UU Pemilu masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Ia mendesak hal itu segera diputuskan DPR RI lebih awal untuk menjaga kepastian dinamika politik lokal dan kontestasi bagi partai politik.

"Kami mendorong agar tetap ada pilkada apakah mereka disatukan 272 berbarengan, pilihannya pada akhir 2022 atau awal 2023, supaya tidak menggangu persiapan 2024. Itu yang harus segera diputuskan oleh pembuat undang-undang," kata Titi.

Salah satu kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, hasil Pilkada 2017 lalu yang kemudian dilantik pada Oktober 2017. Sedangkan kepala daerah yang berhenti menjabat pada 2023 yakni Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, terpilih pada Pilkada 2018 dan dilantik pada September 2018.

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ عَهِدَ اِلَيْنَآ اَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُوْلٍ حَتّٰى يَأْتِيَنَا بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ ۗ قُلْ قَدْ جَاۤءَكُمْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِيْ بِالْبَيِّنٰتِ وَبِالَّذِيْ قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوْهُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
(Yaitu) orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami, agar kami tidak beriman kepada seorang rasul, sebelum dia mendatangkan kepada kami kurban yang dimakan api.” Katakanlah (Muhammad), “Sungguh, beberapa orang rasul sebelumku telah datang kepadamu, (dengan) membawa bukti-bukti yang nyata dan membawa apa yang kamu sebutkan, tetapi mengapa kamu membunuhnya jika kamu orang-orang yang benar.”

(QS. Ali 'Imran ayat 183)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement