Kamis 05 Mar 2020 19:42 WIB

'Komnas HAM-Kejakgung Jangan Tiktok Soal Pelanggaran HAM'

Arsul minta debat soal pelanggaran HAM Paniai jangan hanya tektok di media massa.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/3).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani, meminta Komnas HAM dan Kejaksaan Agung satu pandangan dalam mendefinisikan pelanggaran HAM berat. Bukan saling membenarkan pendapatnya masing-masing. "Agar tidak tiktok (beda pandangan), tidak main tiktok ini, antara Komnas HAM dengan Kejaksaan agung," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/3).

Ia menjelaskan, pihaknya ingin mempertemuakan keduanya dalam rapat kerja dengan Komisi III. Dengan demikian, Komnas HAM dan Kejakgung dapat menjelaskan alasannya terkait pelanggaran HAM berat.

Baca Juga

"Tetapi karena ini juga belum kita lihat, karena Komnas HAM kan belum menyampaikan kepada DPR, khususnya Komisi III, apa sih hasil penyelidikannya," ujar Arsul.

"Nanti kita dengar dari Kejaksaan Agung-nya, ini penyelidikannya sebetulnya masih mentah, karena kami minta dilengkapi ini-ini nya, itu yang akan kita lihat," tambahnya.

Namun, Arsul menjelaskan Komnas HAM belum dapat memenuhi undangan rapat kerja dengan Komisi III dan Kejakgung. Sehingga, perbedaan pandangan antara keduanya hanya disampaikan lewat media.

"Jadi supaya ini tidak tektok di media saja tanpa ujung penyelesaian, Komnas HAM merasa sudah melakukan penyelidikan," ujar wakil ketua MPR itu.

Sebelumnya, Komnas HAM resmi mengumumkan hasil penyelidikannya terkait peristiwa berdarah di Paniai 2014. Hasil penyelidikan komisi tersebut, menebalkan terjadinya pelanggaran HAM Berat dalam peristiwa di Paniai, enam tahun lalu.

Atas hasil penyelidikan tersebut, Komnas HAM, pun sudah menyampaikan ke Kejakgung agar diusut. Menurut UU HAM 26/2000, hasil penyelidikan Komnas HAM, harus direspons Kejakgung untuk melakukan penyidikan, dan penuntutan.

Peristiwa Paniai, terjadi pada 7 dan 8 Desember 2014. Peristiwa tersebut, berawal dari aksi protes warga sipil menyikapi aksi pengroyokan warga Papua yang dilakukan oleh aparat.

Akan tetapi, aksi protes warga sipil ketika itu, ditanggapi militer dengan pembubaran paksa. Pembubaran paksa itu, pun berujung bentrok dan menewaskan sedikitnya empat orang yang disebabkan oleh peluru tajam.

Dari peristiwa tersebut, pun satu warga sipil lainnya meninggal dunia, saat dirawat di rumah sakit. Namun, Kejakgung menyatakan berkas penyelidikan Komnas HAM atas kasus itu belum memenuhi syarat formil dan materiil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement