Jumat 06 Mar 2020 08:02 WIB

Puluhan Dai Televisi Ikuti Standardisasi Kompetensi Dai MUI

Standardisasi dai televisi sebagai upaya menyamakan persepsi.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI menggelar standardisasi dai.
Foto: Dok Istimewa
Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI menggelar standardisasi dai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Puluhan penceramah yang kerap tampil di layar kaca mengikuti program standardisasi kompetensi dai angkatan ketiga yang dilaksanakan Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesi (MUI) di kantor MUI pusat, Jakarta Pusat, Kamis (5/3). Peserta kegiatan ini dinilai sudah kompeten untuk memberikan ceramah di televisi. 

"Alhamdulillah, sudah selesai acara standardisasi kompetensi dai di lembaga penyiaran dengan baik dan sukses. Ada sekitar 84 orang yang hadir dari kalangan asatidz yang biasa menghiasi layar kecil dengan ceramah-ceramah yang aneka ragam," ujar Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (6/3).

Baca Juga

Dalam acara tersebut, ustadz senior dan junior berkumpul bersama Komisi Dakwah di kantor MUI. Di antaranya adalah Ustaz Yusuf Mansur, Ustadz Das’ad Latif, Ustadz Maulana, Ustadz Subki al-Bughuri, Habib Nabil al-Musawa, dan Ustadzah Lulung Mumtazah, Ustadzah Umi Makki. "Semua rajin sehari penuh di MUI dari pagi hari sampai malam hari mengikuti sesi per sesi dengan tekun," ucap Kiai Cholil.

Kiai Cholil mengatakan, tujuan dan target kegiatan standardisasi dai angkatan ketiga ini adalah menyatukan persepsi dan paradigma dakwah (taswiyatul afkar) yang baik. 

"Acara ini juga untuk koordinasi langkah dakwah (tansiqul harakah) yang baik guna efektivitas dakwah dan berbagi peran antar-asatidz serta untuk melindungi umat (himayatul ummah) dari paham yang sesat," kata Kiai Cholil. 

Acara ini juga menghadirkan narasumber kunci Menko Polhukam Prof Mahfud MD yang menjelaskan tentang relasi agama dan negara. Menurut dia, negara yang berdasarkan Pancasila itu wajib melindungi agama, sementara agama yang diakui di Indonesia wajib memberi nilai keagamaan yang baik agar negara menjadi bermartabat.

"Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan berarti antiagama. Negara Indonesia menempatkan agama dan negara menjadi kemitraan yang inheren di dalamnya," kata Mahfud.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement