Kamis 19 Mar 2020 18:51 WIB

Diberhentikan DKPP, Komisioner KPU Evi Ajukan Gugatan

DKPP memberhentikan Evi yang dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Manik
Foto: Republika/Mimi Kartika
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Manik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Ginting Manik akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam gugatannya, Evi akan meminta pembatalan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tertanggal 18 Maret 2020. 

Putusan DKPP tersebut menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi yang dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu. "Dalam gugatan tersebut saya akan menyampaikan alasan-alasan lainnya agar pengadilan dan publik dapat menerima adanya kecacatan hukum dalam putusan DKPP ini," ujar Evi dalam konferensi pers di kantor KPU melalui siaran langsung, Kamis (19/3).

Baca Juga

Ia menuturkan, Hendri Makalau sebagai pengadu ke DKPP terkait perolehan suaranya saat menjadi calon legislatif DPRD Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) sudah mencabut pengaduannya dalam sidang DKPP 13 November 2019 lalu. Ia menilai, pencabutan aduan itu mengartikan pengadu sudah menerima dan tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas terbitnya surat KPU RI Nomor 1937/PY.01-SD/06/KPU/IX-2019.

Menurut Evi, DKPP hanya memiliki kewenangan secara pasif mengadili pelanggaran kode etik yang diajukan pengadu. Pencabutan pengaduan mengakibatkan DKPP tidak mempunyai dasar menggelar peradilan etik lagi dalam perkara ini.

"Pelaksanaan peradilan etik oleh DKPP tanpa adanya pihak yang dirugikan seperti dalam perkara ini, sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (tentang Pemilu) kepada DKPP sebagai lembaga peradilan etik yang pasif atau DKPP dapat bertindak bila tidak ada pihak yang dirugikan," kata Evi.

Evi juga mengatakan, putusan DKPP terhadap dirinya itu tidak melaksanakan Pasal 36 Ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 yang mewajibkan pleno pengambilan keputusan dihadiri paling sedikit lima orang anggota DKPP. Menurut dia, putusan DKPP Nomor 317 cacat hukum, akibatnya batal demi hukum karena rapat pleno hanya diambil empat anggota majelis DKPP.

Ia belum bisa memastikan waktu pengajuan gugatan tersebut. Namun, ia ingin segera mengajukan gugatan dalam satu pekan ke depan. 

Kendati DKPP memerintahkan presiden memberhentikan Evi dalam masa tujuh hari sejak pembacaan putusan, ia tetap akan mengajukan gugatan. "Saya ini kan pokoknya selesai saya siap gugatan yang saya buat ya saya akan sampaikan gugatan, itu saja," kata Evi.

Ia menjelaskan, pokok permasalahan yang diajukan Hendri Makalau terkait perbedaan penafsiran atas pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2008, putusan Bawaslu RI, dan penafsiran KPU RI termasuk KPU Kalbar. Dalam amar putusan MK, jumlah perolehan suara Hendri Makalau sebesar 5.384 suara, dari hasil rekapitulasi sebelumnya 5.325 suara. 

Akan tetapi, Bawaslu memutuskan juga perubahan perolehan suara sesama caleg Partai Gerindra di dapil yang sama, Cok Hendri Ramapon menjadi 4.185 suara dari semula 6.599 suara. Sehingga, KPU RI meminta KPU Kalbar membatalkan rapat pleno terbuka yang menyatakan Hendri Makalau sebagai caleg terpilih, menggeser Cok Hendri Ramapon akibat perubahan perolehan suara tersebut. 

KPU RI memandang hanya menjalankan putusan MK yang disebutkan hakim konstitusi dalam amar putusannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement