Wajibkah Mengqadha Puasa Bagi Orang yang Sudah Wafat?

Red: Ani Nursalikah

Sabtu 04 Apr 2020 13:13 WIB

Hukum Qadha Puasa Wajib Bagi Orang yang Sudah Wafat Foto: republika Hukum Qadha Puasa Wajib Bagi Orang yang Sudah Wafat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Dalam syariat Islam, ada beberapa puasa wajib. Yang asasi dan berlaku bagi semua umat Islam yang sudah memenuhi syarat adalah puasa Ramadhan kecuali bagi yang udzur (halangan syar'i), maka boleh tidak berpuasa dengan ketentuan khusus. Puasa wajib yang lain hanya berlaku bagi orang tertentu yaitu puasa nazar (janji kepada Allah untuk melakukan puasa jika keinginannya terkabul) dan puasa kafarat (puasa sebagai tebusan terhadap pelanggaran tertentu).

Pada prinsipnya, orang yang telah meninggal dunia sudah terputus kesempatan untuk beramal. Dia sudah bebas dari beban kewajiban dan bebas pula dari larangan, karena memang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Rasulullah bersabda: "Apabila manusia sudah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya" (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Baca Juga

Bagaimana halnya jika ada orang yang meninggal dunia, sedang dia masih mempunyai tanggungan utang puasa wajib (Ramadhan, nazar atau kafarat) yang belum terlaksana? Pertama, jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak mampu berpuasa kemudian meninggal sebelum ada kemampuan mengqadhanya, maka menurut jumhur fuqaha utang puasanya terhapus dengan sendirinya. Keluarganya tidak ada kewajiban mengqadha atau membayarkan fidyah untuknya.

Kedua, jika seseorang sakit dan tidak mampu berpuasa kemudian sembuh dan mampu mengqadha hutang hutang puasanya tetapi kemudian meninggal sebelum terlaksana qadha puasanya, maka para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut, dikutip dari Fiqih Kontemporer karya KH Ahmad Zahro: fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat keluarganya tidak wajib mengqadha atau membayar fidyah untuk nya, kecuali ada wasiat, karena puasa Ramadhan merupakan kewajiban syar'i yang harus dilaksanakan sendiri oleh masing-masing pribadi dan tidak boleh diwakilkan.

Sedangkan fuqaha Syafi'iyah dan Hanabilah menyatakan wajib bagi keluarganya mengqadha atau membayarkan fidyah atas nama almarhum, baik ada wasiat maupun tidak. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ada seseorang yang datang kepada Rasulullah dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku (dalam riwayat lain: saudariku) meninggal, sedang ia masih mempunyai kewajiban puasa satu bulan (dalam riwayat lain: puasa nazar), apakah saya mengqadha untuknya? Beliau menjawab: 'Ya, utang kepada Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan'" (HR Al Bukhari dan Muslim).

Ketiga, sebagian fuqaha (antara lain an-Nawawi dan Abul Khattab) menyatakan boleh atau tidak wajib bagi keluarganya mengqadha atau membayarkan fidyah atas nama almarhum. Mengenai hal ini ada hadits dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: "Barangsiapa meninggal dan ia masih menanggung kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya" (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat, ada juga fuqaha yang membedakan antara utang puasa Ramadhan dengan utang puasa nazar dan kafarat. Kalau utang puasa Ramadhan, maka cukup dibayarkan fidyah atas nama almarhum. Sedang kalau utang puasa nazar atau kafarat, maka keluarganya harus melakukan puasa qadha atas nama almarhum. Wallahu a'lam.