Sabtu 11 Apr 2020 11:24 WIB

Bau Belerang Krakatau, Warga Pulau Sebesi Butuh Masker

Belerang dari erupsi Anak Krakatau membuat warga Sebesi sesak napas dan perih mata.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Agus Yulianto
Aktivitas warga Pulau Sebesi terganggu akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.
Foto: Republika/Mursalin Yasland
Aktivitas warga Pulau Sebesi terganggu akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.

REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG SELATAN -- Aroma belerang dan debu letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) sampai di lingkungan warga Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Sabtu (11/4). Warga empat dusun di Desa Tejang, menantikan bantuan masker dari pemerintah dan masyarakat, karena warga mulai mengalami sesak napas dan mata perih.

"Yang kami perlukan sekarang masker, sejak semalam sampai pagi ini bau belerang dan debu pasir membuat kami susah bernafas dan mata mulai perih," kata M Yusuf, tokoh masyarakat Desa Regahan Lada III, Desa Tejang, Pulau Sebesi, kepada Republika.co.id, Sabtu (11/4).

Menurut dia, baru belerang baru terasa sejak pukul 1.00 saat warga panik keluar rumah terdengar bunyi dentuman diduga dari GAK. Sedangkan debu pasir juga menghujani dusun-dusun di Desa Tejang, sejak suara letusan GAK pada pukul 22.00. Warga tidak berani masuk ke dalam rumah pada dini hari tersebut, khawatir letusan berlanjut.

Dia mengatakan, warga mulai tenang tatkala hujan mengguyur wilayah Pulau Sebesi. Debu-debu pasir mulai mereda dan bau belerang mulai berkurang. Menjelang waktu Subuh, warga mulai kembali masuk rumah masing-masing, sebagian warga terutama orang dewasa, masih berjaga-jaga di luar rumah.

Hingga Sabtu pagi, warga di Desa Regahan Lada III masih merasakan bau belerang yang diduga berasal dari GAK, sedangkan debu pasir yang dini hari menutupi wilayah Pulau Sebesi, agak berkurang. Sesekali warga masih merasakan getaran dan mendengar bunyi letusan atau dentuman dari arah GAK.

Kondisi panik juga terjadi pada warga Desa Way Muli di seberang Pulau Sebesi. Warga di pesisir selatan Kabupaten Lampung Selatan yang lebih jauh letaknya dari GAK, juga berhamburan keluar rumah, saat mendengar bunyi dentuman atau letusan diduga berasal dari GAK. Kondisi tersebut terjadi sejak Jumat malam hingga Sabtu dini hari. Warga Way Muli mulai tenang setelah hujan mengguyur wilayahnya pada Sabtu dini hari. Sebagian warga mulai memasuki rumahnya.

Bunyi dentuman atau letusa GAK terdengar jelas di Pulau Sebesi, Jumat (10/4) sampai Sabtu (11/4) pukul 01.00. Warga Pulau Sebesi yang berdekatan dengan GAK di Perairan Selat Sunda mendengar jelas letusan, getaran, dan pijaran merah arah GAK. Warga panik dan keluar rumah. Mereka khawatir terjadi gelombang tsunami lagi seperti dua tahun lalu, yang menewaskan sejumlah warga pesisir Selatan dan merusak rumah dan perahu nelayan.

Saat ini, status GAK masih waspada atau Level II. Wisatawan, nelayan, dan masyarakat umum masih berlaku larangan mendekat kawasan GAK yang gunung berapi induknya pernah meletus pada 18 Agustus 1883. Pada 22 Desember 2018 pukul 21.30, terjadi longsoran kawah GAK yang menimbulkan gelombang tsunami di perairan Selat Sunda. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement