Jumat 17 Apr 2020 10:27 WIB

Ziswaf dan Resesi Ekonomi di Era Pandemi

Pada tahun 2020 UMKM menjadi sektor yang paling rentan dan terdampak

Red: Gita Amanda
Kepala Bagian Sosial dan Advokasi Dakwah Baznas RI  BAZNAS Farid Septian
Foto: personal document
Kepala Bagian Sosial dan Advokasi Dakwah Baznas RI BAZNAS Farid Septian

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Farid Septian, Kepala Bagian Sosial dan Advokasi Dakwah Baznas RI

Wabah Covid-19 yang menyebar hampir ke seluruh negara di dunia diprediksi sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia. Tidak hanya negara berkembang bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat, Eropa, China mengalami kontraksi ekonomi yang begitu hebat.

Baca Juga

Bank Dunia sebagaimana dilansir Republika.co.id menyatakan sulit untuk menentukan persisnya pertumbuhan ekonomi masa depan, terutama karena cepatnya perubahan situasi. Namun, asumsi awal (baseline) pertumbuhan perekonomian negara-negara maju di Asia dan Pasifik pada tahun 2020 akan melambat 2,1 persen dan untuk skenario yang lebih buruk minus 0,5 persen.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan perkiraan tahun 2019 yang sebesar 5,8 persen. Singkatnya, krisis bahkan resesi ekonomi di dunia di depan mata.

Dalam konteks Indonesia, hal ini diperparah karena pertumbuhan perekomian kita berbasis pada utang (debt based growth). Berdasarkan CEIC data dalam Global Economic Monitor tentang rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio), Jumlah utang Indonesia pada tahuan 2014 sekitar 24,7 persen dari PDB atau sekitar Rp 2.602 triliun, sementara pada tahun 2019 jumlah utang Indonesia mencapai 30,1 persen dari PDB atau sekitar Rp 4.778 triliun.

Pada saat wabah Covid-19 menghantam negara-negara di dunia, nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi hingga mencapai Rp 17 ribu per 1 dolar AS. Maka jumlah utang Indonesia setelah Covid-19 ini diperkirakan mencapai 60 persen dari PDB atau sekitar Rp 9.530 triliun. Depresiasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar ini akan menambah kesulitan Indonesia dalam membayar kewajiban utangnya.

Indonesia pernah mengalami krisis moneter pada tahun 1998, pada saat itu bisa dikatakan tidak begitu berdampak pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), bahkan UMKM menjadi penyanggah ekonomi nasional karena mayoritas mereka tidak masuk dalam sektor keuangan perbankan (unbankable). Pun tahun 2008 terjadi krisis finansial global, sektor UMKM cenderung masih kuat menghadapi badai krisis tersebut. Walaupun sebagian terkena imbas karena sudah masuk dan terlibat dalam institusi microfinance.

Sebaliknya, pada tahun 2020 ini UMKM justru menjadi sektor yang paling rentan dan terdampak. Karena krisis Covid-19 ini membuat terbatasnya aktivitas sosial yang mengakibatkan terhambatnya transaksi ekonomi. Sementara masih banyak UMKM yang belum memasarkan produknya melalui pasar online (market place). Ditambah dengan makin langka dan mahalnya bahan-bahan produksi. Di sisi lain daya beli masyarakat juga menurun.

Pemerintah telah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menanggulangi penyebaran virus Covid-19. Keadaan ini membuat beberapa aktivitas yang melibatkan perpindahan manusia sangat dibatasi dan berimbas pada menurunnya aktivitas ekonomi konvensional. Hal ini akan memberikan dampak pada pekerja rentan seperti pengemudi ojek online, supir angkutan umum, pedagang kecil, buruh harian, dan semacamnya yang mendapatkan penghasilan dari aktivitas rutin harian. Sementara harga kebutuhan bahan pokok terus merangkak naik.

Hal yang patut disyukuri adalah walaupun diambang pintu krisis ekonomi, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan untuk penanggulangan Covid-19 dengan total sebesar Rp 405,1 triliun dengan rincian Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 75 triliun untuk kesehatan, sebesar Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi, dan sebesar Rp 70,1 triliun untuk insentif dan stimulus KUR.

Kontribusi Ziswaf

Salah satu solusi yang ditawarkan sektor keuangan sosial Islam menghadapi krisis adalah melalui Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (Ziswaf). Khususnya zakat untuk meningkatkan stimulan konsumsi dan produksi mustahik yang akan menghasilkan permintaan (demand) yang secara pararel akan menghasilkan permintaan (supply) yang lambat laun akan mengembalikan keseimbangan transaksi ekonomi di masyarakat.

Dalam konteks zakat, kita mengenal ada setidaknya empat klasifikasi orang berdasarkan pendapatan atau kepemilikan harta. Pertama, adalah fakir (ekstreme poor) dimana mereka hanya memiliki pendapatan kurang dari 50 persen kebutuhan hidup layak. Kedua miskin (poor) dimana kisaran pendapatan mereka sekitar 50-99 persen dari standar kebutuhan hidup layak (had kifayah). Fakir dan miskin (mustahik) ini adalah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ketiga, tidak miskin tapi bukan muzaki, dimana pendapatan mereka di atas standar hidup layak (had kifayah) namun belum mencapai garis nishob untuk membayar zakat. Namun mereka sudah bisa dengan mudah untuk membayar infak (munfiq). Termasuk di dalamnya orang-orang yang rentan miskin seperti para pedagang, pekerja informal atau sektor UMKM yang bertumpu pada penghasilan harian. Keempat adalah muzaki (zakat payer), mereka adalah orang yang memiliki pendapatan/harta melebihi garis nishob sehingga wajib membayar zakat.

Dari ke-empat klasifikasi tersebut, maka tipe ketiga adalah yang paling rentan untuk kembali menjadi mustahik dan hidup dibawah garis kemiskinan pada saat terjadi krisis seperti saat ini. Sementara tipe pertama dan kedua akan jauh lebih sulit hidupnya. Dapat dipastikan pengangguran akan meningkat terutama pada sektor UMKM karena tidak berjalannya transaksi ekonomi. Maka yang terjadi adalah penurunan jumlah muzaki yang diikuti dengan peningkatan jumlah mustahik.

Dalam kondisi seperti ini sektor Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (Ziswaf) harus memainkan peran yang signifikan. Kebijakan PSBB yang berdampak pada terhentinya aktivitas ekonomi, terutama pada kalangan pekerja rentan dan mustahik harus direspon dengan bijak oleh organisasi pengelola zakat dan wakaf seperti Baznas, LAZ, BWI.

Berdasarkan Statistik Zakat Nasional Tahun 2018 pertumbuhan pengumpulan ZIS di Indonesia pada rentang kurun waktu tahun 2002-2018 mencapai rerata 34,82 persen, sementara pertumbuhan PDB di Indonesia pada rentang kurun waktu yang sama mencapai rerata 5,38 persen.

Pada tahun 2018 tercatat ZIS yang dikumpulkan mencapai Rp 8,1 triliun yang sebagian besarnya dihimpun dari zakat penghasilan sebesar 40,68 persen. Memang jika dibandingkan dengan potensi zakat sebesar Rp 233,8 triliun (Puskas BAZNAS), maka realisasinya pengumpulan masih sangat kecil yakni sekitar 3,4 persen. Masih tingginya gap realisasi dengan potensi tersebut bisa jadi memang karena kepemilikan harta kekayaan di Indonesia sangat timpang dan tidak dimiliki oleh umat Islam.

Dari sepuluh orang terkaya di Indonesia hanya satu orang Muslim yang masuk pada urutan kesembilan (Forbes 2019). Selain itu juga belum optimalnya pengumpulan dana ZIS dari sektor pertanian, peternakan, pertambangan, dsb.

Secara konseptual zakat memang dapat membantu mustahik untuk meningkatkan konsumsi dan produksi yang secara agregat berkontribusi meingkatkan pertumbuhan ekonomi khususnya di era pandemi. Namun demikian, besaran jumlah dana yang dimiliki sektor Ziswaf relatif masih kecil. Oleh karenanya dibutuhkan langkah-langkah strategis dan taktis yang dapat dilakukan.

Pertama, pada level mikro, Baznas dan lembaga Zakat di Indonesia dapat mengimplementasikan program bantuan sosial (social safety net) melalui program cash for work (CFW) yaitu memberikan uang tunai untuk sebuah pekerjaan kepada para pekerja rentan untuk dilatih membantu penanganan Covid-19 seperti menjadi relawan penyemprotan disinfektan di ruang publik. Pada level UMKM yang bergerak pada usaha pangan, Baznas dan LAZ dapat membeli paket sembako yang disalurkan dengan menggunakan voucher atau tiket kepada keluarga mustahik yang membutuhkan. Penggunaan voucher atau tiket ini untuk memastikan barang yang dibeli adalah kebutuhan pokok.

Selain itu dapat juga memberdayakan UMKM dibidang konveksi untuk memproduksi alat pelindung diri (APD) dan masker yang dibutuhkan para tenaga medis untuk penanganan Covid-19 ini. Kegiatan CFW ini bertujuan untuk memberdayakan para pekerja dan sektor UMKM yang rentan sekaligus membantu pemerintah dalam penanganan Covid-19. Sementara BWI dapat melakukan gerakan wakaf produkti dan wakaf sosial. Seperti wakaf tunai untuk pembangunan rumah sakit lapangan, alat kesehatan, pasar online, dan sebagainya.

Kedua, pada level messo, Baznas dapat memberikan imbauan kepada seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk merealokasi rencana kerja dan anggaran tahunan untuk penanganan dampak Covid-19 terhadap mustahik. Dengan aktifitas work from home, dana operasional dapat dialihkan untuk membantu mustahik. Baznas juga dapat menginisiasi gerakan zakat di Indonesia untuk menghimpun dan menyalurkan dana ZIS lintas provinsi atau wilayah (zakat cross province) dari daerah surplus pengumpulan zakatnya ke provinsi atau wilayah yang menjadi titik episentrum dan paling terdampak Covid-19.

Ketiga, pada level makro, Baznas mendapat mandat dalam UU. No 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Nasional yang bertujuan salah satunya adalah meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Sementara wabah Covid-19 ini baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan kemiskinan. Oleh karena itu Baznas, Laznas dan BWI dapat terlibat aktif dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Juga dapat menginisiasi kerjasama strategis pada level kementerian terutama kementerian agama, kementerian sosial, dan kementerian kesehatan.

Selain itu kita juga berharap dan menyeru pra konglomerat di Indonesia lebih dapat berempati dengan menyumbangkan dana filantropi baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat Indonesia yang terdampak krisis Covid-19 ini.

Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, sektor sosial keuangan islam utamanya zakat, infak, sedekah, dan wakaf harus mampu menjawab tantangan dan memainkan peran signifikan untuk menjaga Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam agar terhindar atau setidaknya meminimalisasi dampak krisis dan resesi ekonomi global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement