Senin 27 Apr 2020 17:52 WIB

PM Inggris Sebut Terlalu Dini Longgarkan Lockdown

Inggris masuk lima negara dengan kasus dan jumlah kematian akibat Covid-19 terburuk.

Rep: kamran dikarma/ Red: Hiru Muhammad
Seorang polisi dan kuda di Oxford Street yang kosong, London Pusat, Inggris, 13 April 2020. Warga Inggris hanya dapat meninggalkan rumah mereka karena alasan-alasan penting atau mungkin didenda, untuk mengurangi penyebaran virus corona SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19
Foto: EPA
Seorang polisi dan kuda di Oxford Street yang kosong, London Pusat, Inggris, 13 April 2020. Warga Inggris hanya dapat meninggalkan rumah mereka karena alasan-alasan penting atau mungkin didenda, untuk mengurangi penyebaran virus corona SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan, masih terlalu dini untuk melonggarkan penerapan karantina wilayah atau lockdown. Hal itu dia sampaikan pada hari pertamanya kembali bekerja setelah pulih dari Covid-19, Senin (27/4).

Berbicara di luar kediamannya di Downing Street, Johnson membandingkan Covid-19 dengan penjahat jalanan yang tak terlihat. “Jika kita dapat menunjukkan semangat persatuan dan kebulatan tekad yang sama seperti yang telah kita semua tunjukkan dalam enam pekan terakhir, saya sama sekali tidak ragu kita akan mengalahkannya,” ujarnya.

Johnson meminta masyarakat Inggris tetap bersabar. “Saya meminta Anda untuk menahan ketidaksabaran Anda karena saya percaya kita akan masuk sekarang ke akhir fase pertama dari konflik ini dan terlepas dari semua penderitaan yang kita miliki, kita hampir berhasil,” katanya.

Dia memahami adanya kekhawatiran bisnis. Johnson mengatakan, akan berkonsultasi dengan partai-partai oposisi yang mendesak kejelasan terkait pengakhiran lockdown.

“Kami tidak bisa menguraikan sekarang seberapa cepat atau lambat atau bahkan ketika perubahan itu akan dilakukan, meski jelas pemerintah akan mengatakan lebih banyak tentang hal ini dalam beberapa hari mendatang,” ujar Johnson.

Dia meminta agar masyarakat mengetahui risiko lonjakan kedua kasus Covid-19, termasuk risiko kehilangan kendali atas virus itu. Hal tersebut tak hanya akan menimbulkan bencana bagi ekonomi, tapi juga membuat gelombang baru kematian. 

Pemimpin oposisi, Partai Buruh, Keir Starmer mendesak Johnson untuk menetapkan kapan dan bagaimana pembatasan ekonomi serta sosial dapat dilonggarkan. “Bertingkah seolah-olah diskusi ini tidak terjadi tidak dapat dipercaya,” ucapnya.

Saat ini Inggris memiliki 153 ribu kasus Covid-19 dengan korban meninggal mencapai 20.732 jiwa. Ia masuk dalam lima negara dengan kasus dan jumlah kematian akibat Covid-19 terburuk di dunia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement