Senin 27 Apr 2020 21:28 WIB

Teladan Musyawarah Rasulullah SAW

Rasulullah SAW merupakan pemimpin yang gemar menempuh jalan musyawarah.

Red: Hasanul Rizqa
Rasulullah SAW (ilustrasi)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah Muhammad SAW merupakan pemimpin yang agung. Sebab, beliau memimpin dengan panduan dari Allah Azza wa Jalla. Tidak ada satu pun perintah dan kebijakan Nabi SAW yang timbul dari hawa nafsu. Semuanya dilandasi oleh wahyu Ilahi.

Bagaimanapun, corak pemerintahan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam cenderung demokratis. Bila wahyu tidak turun tentang suatu persoalan, maka Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat. Malahan, tak jarang beliau mengambil pendapat mereka sehingga meninggalkan opininya sendiri.

Baca Juga

Kecenderungan Nabi SAW dalam membuka dialog, alih-alih monolog, merupakan terobosan yang melampaui zamannya. Berkata Aisyah RA, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah daripada Rasulullah SAW.”

Nabi SAW juga pernah bersabda, “Barangsiapa menghendaki mengerjakan sesuatu, lalu ia bermusyawarah dengan seorang Muslim, maka Allah akan memberikan taufik kepadanya untuk memilih yang paling baik baginya.” Di sinilah pentingnya sikap saling menasihati dalam kebaikan antarsesama Mukmin. Sebaliknya, sikap khianat akan merusak persaudaraan dan menyesatkan nakhoda kepemimpinan.

Beliau berpesan, “Barangsiapa memberikan nasihat kepada temannya dengan suatu pendapat, padahal ia mengetahui bahwa yang benar bukan itu, maka ia telah khianat.”

Kisah musyawarah Nabi

Salah satu contoh musyawarah yang diadakan Nabi SAW terjadi menjelang Perang Badar. Inilah pertempuran pertama kaum Muslimin dalam menghadapi intimidasi kaum musyrik. Dalam perjalanan, Rasulullah SAW memerintahkan pasukannya untuk berhenti sejenak di dekat mata air sekitar Badar. Salah seorang dari para sahabat, yakni Hubab bin Mundzir, telah mengenal betul medan pertempuran ini. Dia sempat bertanya-tanya, mengapa Rasul SAW memutuskan untuk singgah sebenar di lokasi tersebut. Lantas, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada beliau.

“Wahai Rasulullah,” kata Hubab, “apakah lokasi ini memang dipilih berdasarkan wahyu yang tak bisa diubah, ataukah ini pendapatmu sebagai strategi perang?”

“Ini hanya pendapatku dan strategi perang,” jawab Nabi SAW.

“Bila demikian, wahai Rasulullah, sungguh lokasi ini bukanlah tempat yang tepat bagi kita. Bagaimana kalau kita mengambil tempat di mata air yang terdekat dengan musuh? Kita turun dari tempat itu, lalu kita gali sumur-sumur di belakangnya. Kolam-kolam kita penuhi dengan air dari oasis itu. Alhasil, ketika sedang bertempur, kita dapat mengambil air yang cukup, sedangkan musuh kehabisan air,” papar Hubab.

Rasulullah SAW menerima pendapat sahabatnya itu. Maka, beliau beserta pasukannya meneruskan berjalan hingga mata air yang terdekat dengan musuh. Selanjutnya, kaum Muslimin melaksanakan sebagaimana rencana Hubab bin Mundzir.

Usai Perang Badar, Nabi SAW pun menyelenggakan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Kali ini, Muslimin memperoleh kemenangan. Bahkan, pasukan jihad ini dapat menawan sebanyak 70 orang lelaki musyrikin Quraisy. Nabi SAW meminta pendapat beberapa sahabatnya tentang nasib para tawanan itu.

“Wahai Rasulullah,” kata Abu Bakar, “mereka itu adalah putra paman-paman kita, kerabat kita, dan saudara kita. Mereka adalah kaummu dan keluargamu. Hendaknya mereka diwajibkan untuk membayar tebusan sehingga dengan tebusan itu kita dapat menambah kekuatan. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah-Nya kepada mereka sehingga nantinya mereka dapat turut memperkuat kita.”

Setelah Abu Bakar mengutarakan pendapatnya, kini giliran Umar bin Khattab.

“Ya Rasulullah, mereka telah mendustakan dan mengusirmu dari kampung halaman. Mereka adalah gembong orang-orang kafir. Mereka keluar dari kota hanya untuk memerangimu. Menurut pendapatku, hukum mati saja mereka,” kata Umar dengan nada tegas.

Lalu, berkatalah Abdullah bin Rawahah. “Wahai Rasulullah,” katanya, “di dekat kita ada lembah yang banyak kayu. Kita dapat menyalakan api besar di sana, lalu melemparkan mereka ke dalamnya.”

Rasulullah SAW kemudian terdiam. Beliau tak menjawab, lalu masuk ke tendanya. Maka, Abu Bakar, Umar, dan Ibnu Rawahah saling bertanya-tanya. Pendapat manakah yang akan disetujui Nabi SAW?

Tak lama kemudian, Rasulullah SAW keluar dan berkata, “Sungguh, Allah Maha Besar melunakkan hati orang hingga lebih lunak daripada yang lunak. Sungguh, Allah Maha Kuasa mengeraskan hati orang hingga lebih keras daripada batu.”

Beliau lantas mengibaratkan sifat Abu Bakar seperti Nabi Isa AS, yang pernah berdoa, “Jika Engkau (Allah) menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana” (QS al-Maidah: 118).

Sifat Umar diibaratkannya dengan Nabi Nuh kala berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi” (QS Nuh: 26).

Adapun sifat Abdullah bin Rawahah disandingkan beliau dengan Nabi Musa saat bermunajat, “Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman sehingga mereka melihat siksaan yang pedih” (QS Yunus: 88).

Nabi SAW lantas lebih condong pada pendapat Abu Bakar. Maka, para tawanan itu bisa dibebaskan dengan jaminan. Keesokan harinya, ternyata turunlah firman Allah, surah al-Anfal ayat 67.

Artinya, “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement