Selasa 28 Apr 2020 16:42 WIB

Ragunan, Oh Ragunan....

Akankah pemerintah pusat mempertahankan Diklat SMP/SMA Negeri Ragunan?

Red: Karta Raharja Ucu
Luluk Hadiyanto
Foto: Dokpri
Luluk Hadiyanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Luluk Hadiyanto, Pengamat Olahraga, Alumni Pascasarjana Manajemen Olahraga UNJ, Mantan ganda putra No. 1 dunia bulu tangkis bersama Alvent Yulianto

Sekolah Khusus Olahraga (SKO) Nasional Ragunan didirikan melalui kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta (PEMDA DKI Jakarta). Sekolah tersebut diresmikan pada 17 Januari 1977 oleh Gubernur Ali Sadikin.

Ketiga pihak tersebut mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Kemendikbud menanggung biaya pelaksaaan pendidikan, termasuk penyelenggaraan sekolah, asrama, poliklinik serta gaji/honor kepala sekolah, pembantu kepala sekolah, guru dan pegawai tata usaha.

Kemudian Kemendikbud dan KONI menanggung bersama  biaya peningkatan prestasi dan pematangan juara (kompetisi) serta gaji/honor pelatih. Adapun Pemda DKI Jakarta menyediakan sarana pendidikan dan olahraga yang disesuaikan dengan kegiatan program pendidikan dan latihan olahraga dan biaya pemeliharaanya.

Tujuan didirikannya sekolah ini adalah mencetak atlet yang berprestasi nasional dan internasional, mempunyai semangat olahragawan sejati dan berjiwa pancasilais. Dengan pembinaan olahraga dan pendidikan yang sentralistik dan terpantau, Sekolah Khusus Olahraga Nasional Ragunan mampu melahirkan atlet-atlet hebat yang merajai kawasan Asia Tenggara, bersaing di level Asia dan bahkan menembus level dunia. Mereka di antaranya almarhum Lukman Niode (renang), Icuk Sugiarto, Lius Pongoh, Bobbi Ertanto, Sarwendah Kusumawardani (bulu tangkis), Yayuk Basuki (tenis), Nurfitriyana Saiman, Lilis Handayani, dan Kusuma Wardani (panahan), Sudirman, Samsidar (sepak bola) dan lain-lain.

Atlet-atlet muda dari Sabang sampai Merauke tersebut dibina dengan program yang jelas dan terarah. Tidak salah kalau di tingkat Asia Tenggara Indonesia selalu menjadi juara umum karena pembinaan olahraganya fokus pada cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan dalam multi event.

Indonesia menjadi juara Sea Games pada tahun 1977, 1979, 1981, 1983, 1987, 1989, 1991, 1993, 1997 dan 2011. Ketika menjadi juara SEA Games 2011 banyak faktor yang terselip di dalamnya seperti pemilihan cabang olahraga yang menguntungan tuan rumah, mengenal lapangan yang akan digunakan, makanan, supporter, dan lainnya. Namun sejujurnya, di balik keberhasilan pada SEA Games 2011 Indonesia sudah keropos sistem pembinaan olahraganya.

Setelah 21 tahun diresmikannya Sekolah Khusus Olahraga Nasional, tepatnya pada tanggal 24 Februari 1998 dilakukan perjanjian bersama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kemenpora, KONI dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Sekolah Khusus Olahraga Nasional kemudian berganti nama menjadi Pusat Pendidikan dan Latihan (Diklat) SMP/SMA Negeri Ragunan.

Prestasi Diklat SMP/SMA Negeri Ragunan semakin menurun. Penyebab dari menurunnya prestasi Diklat SMP/SMA Negeri Ragunan di antaranya adalah industri olahraga yang mulai berkembang, perusahaan-perusahaan negara maupun swasta mendirikan klub-klub olahraga yang pengelolaanya lebih baik sehingga Diklat SMP/SMA Negeri Ragunan tidak lagi menjadi pilihan utama.

Klub-klub olahraga yang didanai oleh perusahaan-perusahaan tersebut ternyata tidak bisa berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pada era tahun 2000-an banyak klub olahraga menghentikan pembinaan olahraganya, seperti perusahaan Gudang Garam yang membina tenis meja, Suzuki Indomobil yang mendukung pembinaan tenis, dan lainnya.

Bahkan saat ini di cabang olahraga bulu tangkis yang sudah mendunia hanya tinggal beberapa klub yang konsisten membina olahraga yaitu: PB Djarum, PB Jaya Raya, PB Mutiara Cardinal, dan PB Exist, rumor terakhir klub terakhir ini merumahkan beberapa pelatihnya. Saat ini, para siswa masih berlatih di kompleks Ragunan, meskipun dalam kondisi yang terseok-seok karena anggaran yang terbatas. Honor pelatih yang tidak manusiawi dan uang saku atlet yang sering terlambat membuat akhirnya pelatih hebat mencari pekerjaan lain bahkan hengkang ke luar negeri.

Dukungan nutrisi dan gizi yang sangat minim. Asrama dan fasilitas latihan yang sudah tidak layak, poliklinik yang hampir ambruk, jumlah masseur (tukang pijat) tidak proporsional, jumlah pelatih fisik minim, dan kurang pengalaman. Ini masih menghadapi masalah perlengkapan latihan dan bertanding yang asal-asalan serta sistem kompetisi olahraga Indonesia yang semrawut dan tidak tertata oleh pengurus pusat/pengurus besar induk cabang olahraga kecuali cabang olahraga bulu tangkis.

Di tengah keterbatasan itu, Diklat SMP/SMA Negeri Ragunan masih mampu melahirkan atlet-atlet hebat dan berkontribusi untuk tim nasional, antara lain Egy Maulana dan Witan Sulaiman (sepak bola), Ikhsan Rumbay (bulu tangkis/pelatnas utama PBSI), Yeremia Rambitan (bulu tangkis/pelatnas utama), Amry Syahnawi (bulu tangkis/pelatnas utama PBSI) M Fathir, M Yasin, Juliana Clarissa (angkat besi), M Bassam (taekwondo), dan lainnya. Keadaan semakin tidak menentu ketika pada awal tahun 2019 secara tiba-tiba dan halus Pemda DKI Jakarta meminta Diklat SMP/SMA Negeri Ragunan (binaan Kemenpora) mencari tempat baru atau keluar dari kompleks Ragunan dengan alasan akan direvitalisasi.

Setelahnya, Pemda DKI Jakarta menambah jumlah atlet Pusat Pembinaan dan Latihan Pelajar (PPLP) sehingga ketika kembali ke komplek Ragunan antara jumlah atlet binaan Kemenpora dan Dispora DKI Jakarta tidak proporsional dengan jumlah fasilitas yang tersedia. Akankah pemerintah pusat mempertahankan Diklat SMP/SMA Negeri Ragunan? Patut kita tunggu langkah taktis Menpora H Zainudin Amali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement