Jumat 29 May 2020 08:18 WIB

'Blended Learning Lebih Baik dari Tunda Tahun Ajaran Baru'

Tidak ada jaminan pandemi ini akan berhenti tahun depan.

Rep: my21/ Red: Fernan Rahadi
Pendiri gerakan sekolah menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal
Foto: Republika/Eric Iskandarsjah
Pendiri gerakan sekolah menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Beberapa waktu lalu Pengurus Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa Daerah Istimewa Yogyakarta menyurati Presiden Jokowi terkait permintaan penundaan jadwal Tahun Ajaran Baru pada Juli ini menjadi awal tahun 2021. 

Namun, pengamat pendidikan Muhammad Nur Rizal memiliki tanggapan lain atas usulan tersebut. Rizal tidak setuju mengundurkan tahun ajaran baru ke Januari 2021 karena tidak ada jaminan bahwa pandemi akan berhenti dan vaksin ditemukan pada waktu tersebut. 

“Tidak ada jaminan pandemi ini akan berhenti. Vaksin yang ditemukan dan diujicobakan ke manusia hingga tahapan digandakan atau replikasi hingga miliaran untuk didistribusikan ke seluruh negara saja akan membutuhkan waktu hingga 1-2 tahun lamanya. Jadi, pengunduran tidak akan menjamin anak-anak kita bebas dari Covid-19,” kata Nur Rizal kepada Republika, Kamis (28/5)

Menurut Rizal yang perlu dipikirkan adalah segera menyiapkan konsep dasar serta pelaksanaan “kurikulum ketahanan diri” yang terdiri atas ketahanan fisik, mental, dan sosial. Hal tersebut dirasa sangat penting karena anak-anak perlu beradaptasi hidup di suasana yang berbeda dari biasanya karena pandemi belum akan berakhir dalam waktu dekat.

“Orientasi kurikulumnya bukan tentang penguasaan materi saja yang selama ini dilakukan, melainkan lebih berorientasi membangun ekologi sosial yang mengkoneksikan ilmu pengetahuan-kebutuhan keluarga-persoalan di kehidupan nyata-bahkan untuk tingkat SMA hingga perguruan tinggi lebih berbasis riset-riset dasar untuk membantu melawan wabah corona ini,” tuturnya.

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) tersebut juga berpendapat sebelum pemerintah menentukan keputusan terkait kelanjutan pendidikan ini perlu dilakukan survei ke masyarakat. Karena dikhawatirkan kampanye pemerintah tentang kenormalan baru (new normal) akan kehilangan momentum. Para pendidik dan anak-anak justru kebingungan untuk membudayakan aktivitas pendidikan dengan kenormalan baru.

“Pendidikan dengan tatanan baru adalah blended learning, yakni mengintegrasikan pembelajaran tatap muka, online serta praktik problem solving. Tentunya hal ini dilakukan dengan proses yang bertahap. Di periode Juli-Desember 2020, pembelajaran tatap muka tak perlu dilakukan. Selain untuk menghindari munculnya klaster baru Covid-19 di sekolah, masyarakat masih berproses menuju kehidupan persekolahan dengan tatanan baru,” kata Rizal.

Menurut Rizal di periode hingga akhir tahun ini, pemerintah perlu menyiapkan konsep dan pelaksanaan new normal education ke blended learning yang mungkin akan dimulai di awal ajaran baru 2021. 

“Bisa saja di tahun depan, proses tatap muka dilaksanakan 50 persen-60 persen dan online learning 40 persen-50 persen. Materinya lebih ke arah penumbuhan life skills, pola pikir menjadi pembelajar mandiri dan adaptif dengan perubahan baru, berpikir kritis, dan analitis hingga ketrampilan sosial emosional seperti komunikasi, kreatif, dan kolaboratif,” tambahnya.

Rizal pun mengatakan pandemi ini justru dapat dijadikan titik balik pemerintah melakukan transisi menuju tatanan pendidikan baru ke depan.

“Tatanan pendidikan baru ke depan yakni mengubah orientasi kebijakan politik dan anggaran pendidikan dengan membangun infrastuktur akses internet-komputer secara merata ke semua sekolah dan daerah, serta layanan kesehatan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi lagi. Selain itu, pemerintah juga dapat merencanakan dengan matang pembelajaran ke depan dengan blended learning (integrasi tatap muka-online-praktik problem solving). Selain itu juga terkait kurikulum, metode delivery dan assessment lebih mengukur kemampuan swabelajar siswa atau belajar mandiri. Siswa dapat fleksibel meracik mata pelajaran sendiri, memilih metode belajar yang disenangi, berorientasi pada pendidikan life skills dan pola pikir menjadi life long learner,” tutur Rizal.

Ia juga menyarankan gagasan perombakan stuktur kelas yakni 3 hari on campus/class dan 3 hari off-campus/class serta revitalisasi profesionalisme guru dengan menghentikan pola pelatihan lama yang boros anggaran namun miskin kualtas, memanfaatkan online platform untuk training, mendapingi guru dan membuat wadah bertukar praktik belajar secara kolaboratif.

“Saya pun berharap para pengajar dan pelajar selalu adaptif dan terbuka dengan kebaruan, selalu ingin belajar hal baru baik pengetahuan dan skill baru di masa Work From Home dan School From Home agar kita tetap waras dan produktif,” katanya.

Menurut Rizal, pembelajaran online learning untuk saat ini lebih baik diteruskan dahulu daripada menunda tahun ajaran baru sampai awal tahun 2021. Namun pembelajaran daring ini tidak berarti guru dapat memberikan tugas yang menumpuk melainkan membangun ketahanan diri (fisik-mental-sosial). Maka, perlu penyiapan para pendidik dengan pelatihan dan pendampingan terkait konsep dan pelaksanaan blended learning.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement