Ahad 14 Jun 2020 12:47 WIB

Kemenkominfo Diminta Segera Tata Frekuensi Penyiaran

Penataan frekuensi penyiaran dinilai untuk mengoptimalkan pendapatan negara.

Rep: Rahayu Marini Hakim/ Red: Karta Raharja Ucu
Jaringan 5G
Foto: Huawei Indonesia
Jaringan 5G

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan era disrupsi dan pandemi Covid-19 perubahan menuju digital semakin tak terelakkan, pemerintah dan DPR tengah membahas legislasi primer yang berhubungan dengan ruang digital. Diharapkan nantinya Indonesia bisa memasuki era 5.0 society di mana teknologi digital dapat diaplikasikan dan berguna bagi kehidupan manusia yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa dan negara.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate mengatakan, beberapa legislasi primer yang mendukung ruang digital tengah dibahas antara pemerintah dan DPR. Rancangan legislasi itu di antaranya adalah Rancangan UU (RUU) Perlindungan Data Pribadi dan RUU Penyiaran.

“Sehingga nantinya kebutuhan industri penyiaran dan ruang digital dapat terpenuhi. Memang sebagian materi yang ada di revisi UU penyiaran juga dibahas di Omnibus law RUU Cipta Kerja,“ kata Plate pada Forum Dialog Webinar HIPMI bertema 'RUU Penyiaran dan Prospek Industri Penyiaran Indonesia', Rabu (10/6).

Agar dapat mengakomodasi ruang digital di masa mendatang, Kemenkominfo juga memiliki kewajiban untuk melakukan penataan frekuensi baik itu melalui farming maupun refarming. Baik itu di lower band, medium band dan super high band. Sehingga alokasi dan pemanfaatan frekuensi di Indonesia akan menjadi lebih efisien dan efektif, termasuk frekuensi tv. 

“Frekuensi adalah sumber daya alam terbatas maka harus dikelola dengan baik, termasuk frekuensi untuk penyiaran. Kalau kita tak menata frekuensi dengan baik maka potensi penerimaan negara akan berkurang dan pemanfaatan ruang digital juga tidak akan optimal," kata dia.

"Apalagi kita juga tengah mempersiapkan teknologi 5G. Saat ini Indonesia sudah melakukan uji coba 5G untuk menyongsong industri 4.0,” terang Plate.

Menkominfo pada acara Forum Dialog Webinar HIPMI juga mengkritisi industri penyiaran Indonesia yang masih menggunakan teknologi tv analog serta pemanfaatan frekuensi yang juga masih analog. Padahal transformasi untuk mengarah ke digital sudah menjadi keniscayaan.

Terlebih lagi tv teresterial saat ini juga berhadapan dengan layanan over the top (OTT) penyiaran yang menggunakan jalur broadband internet.

“Kita harus hati-hati dalam menggelola industri penyiaran di Indonesia. Sebab aplikasi tersebut datang dengan kekuatan finasial yang sangat besar dan kemampuan yang baru. Jika kita tidak berubah ke arah digital, maka industri penyiaran akan mengarah ke sunset, dan kita tidak boleh membiarkan itu terjadi,” ujarnya.

Lanjut Plate, Kominfo ingin agar spektrum frekuensi industri penyiaran dapat dipergunakan secara efisien. Selain itu pemerintah juga ingin menciptakan equal playing field bagi industri penyiaran dan layanan OTT sehingga dapat berusaha bersama.

Karena itu, RUU ini menjadi sangat strategis agar tata kelola penyiaran dan pemanfaatan spektrum frekuensi di Indonesia dapat berjalan dengan baik. “Oleh sebab itu spektrum frekuensi harus dikelola dengan benar dan efisien. Mau tak mau pilihannya agar industri penyiaran dapat bersaing dan efektif dalam menggunakan spektrum adalah dengan digitalisasi. Agar kita dapat memanfaatkan ruang digital dengan optimal. Sehingga digitalisasi tv menjadi isu strategis di RUU penyiaran,” ungkapnya.

Hingga saat ini ada 2 frekuensi penyiaran yang bisa dioptimalkan untuk mendorong ruang digital dan berpotensi meningkatkan sumbangan sektor Kominfo guna mendongkrak pendapatan negara. Frekuensi tersebut adalah 700 MHz dan 2600 MHz. Pemanfaatan frekuensi 700 MHz masih menunggu analog switch off.

Sedangkan frekuensi 2600 MHz masih dimanfaatkan oleh penyiaran berbayar yang akan habis masa operasinya pada 2024, setelah diperpanjang lima tahun oleh Kemenkominfo yang seharusnya habis masa operasinya pada tahun 2019 yang lalu.  Jika ingin menunjukkan prestasinya dalam menambah setoran ke APBN, Kemenkominfo seharusnya bisa segera melakukan refarming di 2600 MHz. Tujuannya agar frekuensi 2600 MHz ini dapat didayagunakan untuk teknologi baru yaitu 5G sebagaimana tercantum dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang dipercaya dapat menjadi daya ungkit pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19 dan meningkatkan investasi yang masuk ke Indonesia.

Dede Indra Permana Ketua 7 HIPMI yang juga anggota DPR RI Komisi 1 mengatakan UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran tengah digodok saat ini oleh pemerintah bersama Komisi I DPR dengan melakukan pengalihan penyiaran dari analog ke digital. Lanjut Dede, penataan frekuensi dari analog switch ke digital harus diutamakan di dalam Revisi UU penyiaran maupun Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Hal Ini dikarenakan spektrum frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas yang mempunyai nilai strategis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan dikuasai oleh negara.

Politisi dari PDIP ini mengungkapkan saat ini RUU penyiaran belum ada final draft-nya. Draft revisi UU Penyiaran tersebut masih meminta masukan pemerintah dan publik. Termasuk didalamnya refarming yang akan memanfaatkan frekuensi yang ditinggalkan oleh penyelenggara tv analog ke digital seperti yang disampaikan Menkominfo.

“RUU masih dalam taraf penyempurnaan dari draft yang lama. Justru kita ingin penyempurnaan terhadap draft yang lama. Termasuk untuk mengakomodasi perkembangan teknologi penyiaran melalui layanan OTT. Oleh karena itu kita masih membutuhkan masukan dari seluruh stakeholder untuk penyempurnaan draft RUU tersebut,” ucap Dede.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement