Senin 29 Jun 2020 15:35 WIB

Angin Berkabar Hujan

Bukankah pernikahan pada intinya adalah tujuannya?

Red: Karta Raharja Ucu
Angin Berkabar pada Hujan
Foto: Rendra Purnama/Republika
Angin Berkabar pada Hujan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Nangin

Sepasang tangan lelaki tua itu berkacak pinggang. Tangan tersebut berwarna kelam, serupa malam yang akan segera datang menggantikan petang. Sulur-sulur pembuluh darah tampak menonjol di balik kulitnya yang penuh kerut, bukti kerja keras yang masih ia lakoni hingga usia hampir tujuh dekade kini.

Baru saja ia selesai menggali lubang-lubang kecil dan menjatuhkan butir-butir biji kacang panjang ke dalamnya. Butuh usaha yang sedikit ekstra karena tanah begitu kering dan keras ketika digali. Sudah cukup lama hujan tidak turun, namun bagaimanapun, mereka tak bisa berhenti menanam.

Itulah yang ia lakukan bersama istrinya selama puluhan tahun; mengolah tanah dengan bermandi peluh dan berhujan air mata. Menghidupi anak-anak mereka dengan bertani--profesi tanpa pilihan yang diwariskan para pendahulu mereka. Yah, apalah yang bisa dilakukan orang-orang kampung yang bahkan tak mencicipi bangku pendidikan setidaknya hingga sekolah menengah pertama itu.

Beragam jenis tanaman telah melewati proses tumbuh-rawat-panen di tangan mereka. Kadang, upaya itu memberi hasil yang cukup memuaskan, tetapi tak jarang juga berakhir buruk dan menyebabkan kerugian-yah, roda kehidupan berputar.

Sejak awal, mereka tak membangun mimpi untuk menjejakkan kaki di puncak kemakmuran atau memanjat ke pucuk-pucuk tertinggi kekayaan menurut standar duniawi. Sadar mereka tak akan mampu, sebab mereka sendiri tengah berjuang keluar dari lubang dalam yang tengah memerangkap mereka.

Pasangan itu merelakan bahu-bahu mereka menjadi batu pijakan untuk mengeluarkan anak-anak mereka dari lubang yang membatasi ruang gerak. Tak mengapa kaki mereka tertanam lebih dalam karenanya, yang penting para buah hati itu sanggup mereka julang tinggi.

Biar mereka sanggup keluar melihat dunia, mencicipi hiruk-pikuknya, dan kemudian sesekali pulang menjenguk mereka sambil membawa cerita-cerita hebat. Biarlah mereka menunggu di kampung bertemankan cericit burung, konser katak-katak yang begitu meriah menjelang hujan, serta gemerisik daun-daun bambu.

Setelah berjuang bertahun-tahun, pasangan petani tua itu cukup berbangga hati melihat anak-anak mereguk sukses menurut ukuran mereka; meraih gelar sarjana, memiliki pekerjaan tetap, serta cukup uang untuk tuntutan kehidupan di ibu kota.

Hingga akhirnya, tiba waktu untuk berpisah setelah bertahun-tahun hidup di bawah atap yang sama. Atap yang telah menyak sikan tangis anak-anak itu kala lahir. Atap yang sama juga mendengar gelak tawa mereka pun yang mengetahui semua rahasia juga perselisihan. Anak-anak yang telah lahirkan-besarkan itu tumbuh dewasa, meraih cita-cita, pun telah menemukan tambatan hati pula.

Mereka hanya geleng-geleng kepala ketika menjelang hari pernikahan putra-putrinya karena muncul debat panjang hanya karena masalah pilihan gedung resepsi, katering, juru rias, pakaian pengantin, tim dokumentasi, dan seribu satu urusan lain yang tak kepalang banyak bila dijabarkan secara mendetail. Problema kekinian, begitu mereka menyebutnya.

Teringat pasangan tua itu pada puluhan tahun silam, ketika kedua hati mereka menyatu, tak ada kemewahan apa pun yang dapat dihidangkan dalam pesta yang teramat sederhana itu. Bukankah pernikahan pada intinya adalah tujuannya? Janji sakral dan kesungguhan untuk hidup bersama sampai maut memisahkan?

Maka, pasangan tua itu tak ambil pusing dengan segala kerunyaman debat tersebut. Menyerahkan sepenuhnya segala keinginan pernikahan impian pada calon-calon pengantin itu. Biarlah seiring waktu anak-anak muda itu menyadari bahwa sesungguhnya hal yang mereka ributkan sekarang hanyalah masalah sepele dan kelak hanya bisa menertawakannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement