Selasa 30 Jun 2020 07:41 WIB

Pandemi Covid-19 dan Spirit Baru Berkeluarga

Survei menunjukkan keluarga memiliki kelentingan yang cukup tinggi.

Red: Heri ruslan
Euis Sunarti, Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga/ Pendiri GiGa (Penggiat Keluarga) Indonesia.
Foto: dokpri
Euis Sunarti, Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga/ Pendiri GiGa (Penggiat Keluarga) Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Euis Sunarti (Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga/ Pendiri GiGa (Penggiat Keluarga) Indonesia)

Krisis Keluarga

Keluarga merupakan unit sosial tak tergantikan dan lokus utama kehidupan individu saat pandemi covid-19. Bahkan keluarga menjadi ujung tombak program pendidikan formal dan pemutusan penularan covid-19. Pandemi mengguncang kehidupan keluarga seiring diberlakukannya PSBB (pembatasan sosial berskala besar), dan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi, penambahan kemiskinan dan pengangguran. 

Survei (Sunarti, 2020)  menunjukkan terjadi perluasan kerentanan dan krisis keluarga. Keluarga mengalami tekanan ekonomi, ketidaktahanan pangan, gejala stress dan gangguan kesejaheraan psikologis. Terdapat 53 persen keluarga yang hanya memiliki persediaan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga kurang dari 2 bulan, 78 persen menurunkan pengeluaran pangan, 76 persen kesejahteraan keluarganya menurun.

Satu dari dua keluarga mengurangi pangan sumber protein, bahkan sudah terjadi pengurangan porsi makan (oleh 20 persen keluarga). Keluarga merasakan mudah sedih dan cemas, sulit konsentrasi, takut akan kematian diri sendiri dan kematian anggota keluarga. Kondisi ini harus segera diatasi, untuk mencegah perluasan potensi dan kejadian krisis keluarga.  

Krisis keluarga sejatinya dapat dicegah manakala keluarga mampu memprediksi kerentanan dan mengelola perubahan secara positif. Kegagalan interaksi suami istri selama lockdown di beberapa negara dilaporkan berujung pada peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian. Campbell (2020)  melaporkan selama pandemi terjadi peningkatan KDRT di China, Italia, Spanyol, demikian pula di Prancis (meningkat 30 persen), dan di Brasil (meningkat 40-50 persen). 

Lantas bagaimana di Indonesia? Sampai bulan kedua pandemi, justru terjadi peningkatan kasih sayang, kesabaran, interaksi suami istri, dan pengasuhan anak dalam keluarga. Memang dilaporkan adanya kekerasan antaranggota keluarga, namun dalam prosentase yang sangat kecil (kurang dari 3 persen keluarga). Belum dilaporkan adanya peningkatan perceraian di Indonesia, walau demikian  pencegahan perlu dilakukan. Saat ini perceraian di Indonesia sudah cukup tinggi di Indonesia, yaitu rata-rata 1.170 perceraian per hari. 

Investasi kelentingan keluarga

Berita cara kematian akibat covid-19 meningkatkan kesadaran bahwa keluarga sangat berharga dan harus dijaga. Di tengah tingginya kecemasan dan ketakutan yang dirasakan (terkena virus, kondisi ekonomi, masa depan, kematian), namun keyakinan   bahwa pandemi merupakan ujian, membuat keluarga yakin dapat mengatasi beragam masalah.

Sampai bulan kedua pandemi, survei menunjukkan keluarga memiliki kelentingan yang cukup tinggi. Keyakinan keluarga (harus) mampu mengatasi masalah saat pandemi, merupakan faktor pelindung (protective factor) yang penting. Ketika pandemi direspon secara positif, bahkan keluarga memperoleh banyak hikmah. Keluarga bahkan melakukan reorientasi nilai dan tujuan hidup,  refungsionalisasi, dan melejitkan kapasitas dan keberdayaannya.  

Anjuran “di rumah aja” sedianya dapat menjadi wahana berharga bagi keluarga untuk meningkatkan  interaksi dan komunikasi, serta mengawal pencapaian prestasi perkembangan dan kematangan setiap individu.  Hikmah hanya dapat diraih jika keluarga memiliki kapasitas untuk menggalinya.

Sayangnya, kapasitas tersebut tidak muncul ketika tingkat kematangan suami istri belum optimal dan keterampilan hidup berkeluarga terbatas. Hal tersebut menunjukkan bahwa resiliensi sebagai ketahanan keluarga di masa pandemi, tidak dapat diperoleh secara tiba-tiba, melainkan hasil akumulasi investasi jangka panjang, bagaimana suami istri membangun keluarga berketahanan sejak pernikahan, bahkan jauh sebelumnya melalui kesiapan menikah dan berkeluarga.  

Pandemi jelas menyengsarakan dan membawa keterpurukan. Namun disisi lain menyediakan kesempatan kepada keluarga memunculkan sisi positifnya. Hasil survei  menunjukkan tingginya religiusitas keluarga Indonesia, yang dalam tekanan ekonomi dan ketidakpastian tinggi,  namun malah meningkatkan kemampuan memberi dan berbagi.

Keterpaparan  informasi cara kematian akibat covid dan kenelangsaan keluarga yang mengalaminya, melejitkan kapasitas keluarga untuk berbuat baik. Dua pertiga responden (di antaranya mengalami penurunan kesejahteraan dan ketidaktahanan pangan) justru meningkatkan sedekah saat pandemi.  Hikmah berharga lain yang muncul adalah persepsi pentingnya keterampilan hidup berkeluarga, berharganya menjadi ibu rumah tangga, dan pentingnya peningkatan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. 

Kuatkan dan Lindungi Fitrah Berkeluarga

Semangat perlindungan dan kewaspadaan terhadap Covid-19, menguatkan fitrah berkeluarga, yaitu menerima struktur hierarkis dan relasi harmonis. Terlebih lagi saat pandemi terjadi di Bulan Suci Ramadhan. Keluarga hirarkis menguat pada masa pandemi, yaitu menerima laki-laki sebagai kepala keluarga dan menjadikan agama sebagai landasan keharmonisan interaksi keluarga. Hal tersebut sesuai dengan landasan filosofis dan landasan yuridis (Undang-Undang Perkawinan) yang mengatur bentuk keluarga hirarkis dan relasi harmonis, sehingga secara sosiologis telah mengakar dan kokoh diimplentasikan dalam kehidupan berkeluarga di Indonesia. 

Fitrah berkeluarga ini -- walau tidak sama persis -- di negara maju disebut “natural family”. Kelompok konservatif (yang didorong kepatuhan terhadap ajaran gereja) menggunakan istilah  “natural family” sebagai pengakuan pentingnya hirarki sebagai dasar pembagian dalam keluarga. Kelompok ini  menolak  intervensi ideologi dan gerakan yang mengancam keluarga, seperti gerakan feminisme dan LGBTIQ. Para penjaga benteng “natural family” secara berkala menyelenggarakan “World Family Congress” dilaksanakan bergiliran di berbagai negara.  

Penguatan fitrah berkeluarga kala pandemi perlu ditindaklanjuti dengan penguatan dan perlindungan keluarga hirarkis dan harmonis di Indonesia. Undang Undang Perkawinan yang menjadi landasan terbentuknya keluarga, perlu dipertahankan dari upaya perubahan yang diagendakan gerakan feminis radikal. Demikian dengan Rancangan Undang Undang Ketahanan Keluarga, yang ternyata mendapat penolakan dari kalangan liberal dan feminis radikal, perlu dikawal hingga disahkan oleh DPR. 

Di sisi lain, ternyata pandemi menguatkan rekomendasi penulis kepada pemerintah mengenai pentingnya pembangunan dan pekerjaan ramah keluarga. Pandemi membuktikan banyak pekerjaan ramah keluarga, yaitu pekerjaan dapat dilakukan dari rumah  (work from home) tanpa mengurangi produktivitasnya. 

Hal tersebut membawa semangat baru kepada penulis untuk advokasi kebijakan pembangunan ramah keluarga, mendorong keluarga dijadikan sebagai basis kebijakan, dan mendorong lingkup kebijakan yang holistik dan terpadu. Itulah spirit yang hendaknya termaktub dalam Rancangan Undang Undang Ketahanan Keluarga sebagai instrumen landasan pembangunan ketahanan keluarga Indonesia dalam menghadapi tantangan global dan perubahan zaman.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement