Rabu 01 Jul 2020 12:10 WIB

Senyummu Seperti Sebongkah Gula Batu

Kecantikan Laras tiada banding, hingga mata pria sulit berkedip wajah sukar berpaling

Red: Karta Raharja Ucu
Laras Arunika, senyummu seperti sebongkah gula batu (cerpen)
Foto: Karta Raharja Ucu/Republika
Laras Arunika, senyummu seperti sebongkah gula batu (cerpen)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu

Selamat Rabu, hari raya Rindu. Satu dari tumpukan kerinduan di rumah adalah pergi ke sekolah. Bertemu dengan sahabat sebangku, bermain dengan teman lain kelas, dan diam-diam melirik orang istimewa yang sedang berolahraga dari balik kaca nako kelas.

Rabu itu seorang perempuan berjilbab mengumbar senyum saat bergurau dengan sahabatnya di dalam kelas. Sebut saja namanya Larasati. Perempuan yang tinggi badannya tidak lebih dari 155 senti. Mungil dan wajahnya selalu dihiasi senyum menawan.

Tak seperti ratusan pagi sebelumnya saat senyuman Laras tergaris ketika arunika menyelusup masuk ruang kelas. Senyuman Laras pagi itu, sebelum ujian sekolah dimulai, bak mantra magis bagi seorang pria, teman laki-lakinya di kelas.

Arjuna, laki-laki teman sekelas yang memperhatikan Laras selama tiga tahun terakhir, tersihir dengan senyuman itu. Benar, senyuman Laras membuat Arjuna tertawan. Matanya dan hatinya.

Pagi itu pertama kalinya Arjuna dan Laras duduk bersebelahan. Nomor ujian Arjuna bersisian dengan Laras. Sepertinya semesta menitipkan kesempatan untuk Arjuna agar lebih dengan Laras.

Arjuna tipe lelaki tak banyak cakap. Cenderung introvert dan Arjuna jarang berbicara di sekolah. Dengan Laras pun Arjuna jarang terlibat diskusi. Kecuali beberapa kali ketika mereka disatukan dari satu kelompok tugas.

Arjuna ditempa kehidupan sahaja. Saban hari Arjuna mandi dengan air yang tak keluar dari keran. Ia memakai baju yang tak lagi baru. Sejak sekolah dasar, Arjuna datang ke sekolah yang jaraknya berkilo-kilo meter dengan berjalan tanpa kendaraan. Meski demikian, Arjuna lumayan tampan dan pintar. Setidaknya tak pernah angka 70 mampir di kertas ujian sekolah, selalu di atas 80. Akuntansi jadi mata pelajaran favoritnya. Arjuna pun rajin sembahyang.

 

Sementara Laras lahir dari keluarga berada. Parasnya? tentu saja cantik. Sebagai perempuan asli Kediri, Laras mewarisi kecantikan Ken Dedes, permaisuri Ken Arok pendiri Kerajaan Singasari. Babad tanah Jawa menyebut Ken Dedes adalah perempuan yang memiliki kecantikan tiada banding, membuat orang yang memandangnya akan sukar berkedip dan wajah sulit berpaling.

Tak hanya ayu, Laras dititipkan anugerah kecerdasan. Laras juara kelas, selalu rangking satu dan juara umum setiap tahunnya. Laras juga pemegang sabuk kuning melati empat. Laras cakap beretorika. Dan juara musabaqah Alquran tingkat provinsi yang Laras sandang, membuat Arjuna nyaris tak punya peluang.

Tetapi cinta bukan hitungan matematika. Cinta tak memiliki rumus seperti fisika dan kimia. Cinta itu sejarah. Cinta punya bahasa. Dan cinta adalah aset, kewajiban, serta ekuitas. Cinta itu bukan ilmu pasti, cinta itu seni mengagumi dalam balutan diksi. Cinta itu bagi Arjuna seperti pelajaran IPS bukan IPA.

Usia Arjuna tiga tahun lebih tua dari Laras. Arjuna terlambat mendapatkan kesempatan belajar ketika masih anak-anak. Targetnya, Arjuna ingin menikah di usia 21 tahun. Tahun ini, usia Arjuna 20, sementara Laras baru memasuki usia pradewasa, 17.

Kegagumannya kepada Laras, membuat Arjuna begitu yakin menjadikan Laras sebagai calon pertama dan utama yang akan dilamarnya. Arjuna percaya, kematangan berpikir Laras yang menurutnya jauh dari usianya, bisa menjadi bekal Arjuna dan Laras menjadi suami istri.

Karena itu, menjelang turun main usai, sebelum ujian mata pelajaran terakhir dimulai, Arjuna nekat mengajak Laras menikah. Di taman sekolah yang terbuka. Di bawah sebuah pohon akasia, Arjuna mengutarakan niatnya mempersunting Laras.

Arjuna bukanlah remaja yang sedang dimabuk cinta. Tempaan hidup membuatnya lebih hati-hati menentukan pilihan. Arjuna juga bukan seorang remaja sembarangan. Arjuna nekat, tapi bukan tanpa persiapan.

Di rekening bank miliknya setidaknya tersimpan uang cukup banyak untuk ukuran remaja yang baru menginjak dewasa. Lima puluh juta rupiah. Uang itu dihasilkan dari usahanya berjualan pecel lele sejak tiga tahun lalu.

Di tahun-tahun sebelumnya, Arjuna pernah bekerja di banyak profesi dan menjajakan banyak barang. Menjual souvenir pernikahan, berdagang roti keliling, hingga menjadi kasir di toko klontong milik bos ibunya.

Setelah tabungannya cukup, Arjuna mencoba peruntungan berjualan pecel lele di alun-alun kota. Arjuna pun lumayan berhasil. Kini Arjuna punya dua cabang warung pecel lele.

"Aku tak mengajakmu berpacaran. Aku tak memintamu menjadi kekasih. Tapi aku meminangmu menjadi istriku."

"Kita masih putih abu-abu, Juna. Setidaknya tunggu sampai kamu dan aku punya rejeki dari keringat sendiri."

Laras lantas pergi. Tapi Laras tetap tersenyum sebelum meninggalkan Arjuna yang masih memegang plastik bening berisi batagor dengan bumbu kacang dan campuran saus kecap. Di celana Arjuna, tersimpan gelang emas yang sudah disiapkannya sebagai mahar untuk Laras. Perempuan yang selalu memakai jam tangan yang detiknya tak lagi berputar.

Arjuna yakin, Laras juga menaruh hati padanya. Arjuna menangkap sinyal yang diberikan Laras: "rejeki dari keringat sendiri".

Arjuna kini sudah punya penghasilan sendiri. Bahkan, setelah lulus sekolah, Arjuna akan menunda kuliah dan lebih memilih mengembangkan bisnisnya. Tak banyak yang tahu. Guru-guru, bahkan teman-temannya di sekolah.

Sikap pendiamnya membuat Arjuna tak banyak memiliki teman di sekolah. Hanya lima orang di sekolah yang mengetahui jalan hidup Arjuna. Pak Daru, guru fiqih yang dihormatinya; Mbok Sani, penjual makanan di kantin sekolah; serta tiga sahabatnya; Kresna, Abimanyu, dan Yudisthira. Kelimanya dipercaya Arjuna sebagai tempat berbagi cerita.

Di luar sekolah, selain ibunya, ada satu perempuan lagi yang juga tahu kerasnya perjuangan hidup Arjuna. Dari perempuan itu pula, Arjuna yakin dengan cita-citanya menikah muda. Nyai Sagopi, namanya. Seorang pengusaha travel umroh sekaligus langganan pecel lelenya.

Nyai Sagopi suatu kali pernah berkumpul dengan teman-teman lamanya di alun-alun kota. Meski punya harta berlimpah, Nyai Sagopi tak segan makan di pinggir jalan. Nyai Sagopi dan teman-temannya semasa menjadi santri sempat mampir dan makan di warung tempat Arjuna berjualan. Di sana Nyai Sagopi dan Arjuna pertama kali bertemu.

Masakan Arjuna mendapatkan tempat di lidah Nyai Sagopi. Apalagi setelah beberapa kali sengaja mampir, Nyai Sagopi meminta Arjuna rutin mengirimkan nasi kotak untuk makan siang karyawannya. Ini adalah pesanan nasi kotak pertama dan Nyai Sagopi merekomendasikan usaha Arjuna ke sejumlah rekan bisnisnya.

Selain tergoda dengan masakan Arjuna, Nyai Sagopi juga mengagumi kegigihan Arjuna yang enggan menyerahkan tanggung jawab ekonomi keluarga hanya di pundak ibunya. Arjuna kepada Nyai Sagopi pernah berkata, "Perempuan itu sejatinya tulang rusuk. Mereka diciptakan bukan untuk bekerja menafkahi keluarga, tapi diciptakan untuk memeluk kepala keluarga dan anak-anaknya setelah lelah di luar rumah". Kalimat itu yang membuat Nyai Sagopi kepincut dengan sikap remaja yang masih sekolah.

Puluhan kali bersua, Arjuna menemukan sosok ibu dalam diri Nyai Sagopi, sehingga dia merasa nyaman bercerita. Termasuk kisah hidupnya. Di mata Nyai Sagopi, Arjuna seorang kesatria. Namun, bersama Arjuna, Nyai Sagopi hanya bercerita seputar bisnisnya, tidak keluarganya.

Nyai Sagopi menurunkan pengalaman berbisnisnya kepada Arjuna. Karena itu, Arjuna tak hanya menganggap Nyai Sagopi sebagai pelanggannya saja, tetapi juga guru dalam berbisnis.

Di suatu siang akhir pekan di saat libur sekolah, Arjuna sendiri yang mengantarkan pesanan ke kantor travel umroh Nyai Sagopi. Biasanya, rekan kerja Arjuna yang mengantarkan.

Di suatu ruangan, Nyai Sagopi berkata kepada jamaahnya, jika akan mengabulkan permintaan anaknya yang ingin menikah selepas lulus sekolah. Saat itu Arjuna yang sedang mengirimkan pesanan nasi boks untuk konsumsi makan siang karyawan travel, tak sengaja mencuri dengar.

"Anak saya ingin menikah muda. Dan ia berharap yang menikah dengannya adalah teman sekolahnya."

Perkataan Nyai Sagopi itu membuat Arjuna yakin masih ada orang tua yang rela anaknya mengabdi sebagai istri di usia muda. Arjuna juga berharap orang tua Laras satu tipe dengan Nyai Sagopi. Merestui anaknya menikah saat masih belia.

Tapi 'penolakan' Laras di taman sekolah membuat Arjuna memilih mundur sementara waktu, sembari mengatur strategi. Setidaknya satu bulan lagi hingga hari kelulusan.

***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement