Jumat 10 Jul 2020 21:35 WIB

Pentingkah Membangkitkan Kembali Tim Pemburu Koruptor?

ICW catat Tim Pemburu Koruptor yang pernah ada tidak optimal kinerjanya.

Red: Indira Rezkisari
Menkopolhukam Mahfud MD mewacanakan dihidupkannya kembali Tim Pemburu Koruptor. Dalam catatan ICW setidaknya ada 40 buron koruptor yang masih belum berhasil ditangkap negara.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Menkopolhukam Mahfud MD mewacanakan dihidupkannya kembali Tim Pemburu Koruptor. Dalam catatan ICW setidaknya ada 40 buron koruptor yang masih belum berhasil ditangkap negara.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Febrianto Adi Saputro, Ronggo Astungkoro

Keberhasilan atas penangkapan buronan pembobol kas BNI senilai Rp 1,2 triliun Maria Pauline Lumowa agaknya memberi keyakinan untuk bisa menjerat lebih banyak lagi pelaku kejahatan dan koruptor yang hingga kini masih buron. Wacana menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor atau TPK pun diucap.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai pengaktifan kembali TPK tidak akan efektif. Alasannya sudah terlalu banyak instrumen penegak hukum yang menangani kasus korupsi.

"Terlampau banyak instrumen penangkap koruptor justru tidakefektif. Cukup komisioner dan penyidik (KPK) yang sudah ada," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (10/7).

Menurut Adi, keberadaan TPK sudah tidak diperlukan lagi sekarang ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini sudah kuat untuk memberantas korupsi, termasuk menangkap koruptor. Sebelum dipimpin Komjen Pol Firli Bahuri, kata dia, KPK sudah sering membongkar kasus-kasus besar yang menyeret para elite, pejabat negara, dan politikus ke meja hijau.

"Mulai ketua partai hingga menteri kena OTT (operasi tangkap tangan). Makanya, sekarang ini justru pertaruhan kredibilitas KPK di bawah pimpinan Firli. Apakah daya gigitnya masih kuat seperti sebelumnya," katanya.

Ia mengatakan TPK dulu dibentuk zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena memang instrumen tambahan itu perlu dibuat untuk memperkuat KPK saat itu. "Saat awal-awal KPK dulu kan masih perlu adaptasi kerja, tetapi ketika instrumen penegak hukum sudah mapan seperti sekarang, urgensinya apa ada TPK lagi?" kata pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Apalagi, kata dia, sumber daya yang ada di KPK sudah cukup banyak sehingga semestinya dimaksimalkan perannya untuk bisa mengungkap kasus-kasus besar korupsi seperti KPK periode-periode sebelumnya.

Adi mengingatkan masyarakat sekarang ini juga sudah sedemikian cerdas dan kritis dalam melihat kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga di bawahnya, seperti KPK. Kalau hanya untuk menangkap buronan kasus korupsi, misalnya Djoko Tjandra dan Harun Masiku, kata dia, KPK semestinya cukup berkoordinasi dengan instrumen penegak hukum yang sudah ada, terutama kepolisian.

"Kepolisian itu untuk menangkap teroris dan jaringan-jaringannya paling butuh waktu 1-2 hari. Apalagi hanya untuk menangkap buronan selevel Djoko Tjandra," katanya.

Senada, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pembentukan TPK belum dibutuhkan. Menurut ICW tim tersebut sama sekali tidak bekerja efektif jika melihat sejarah saat pertama kali dibentuk pada 2002 lalu.

"Data ICW menunjukkan, pascadelapan tahun dibentuk, faktanya tim ini hanya berhasil menangkap empat buronan dari 16 target penangkapan. Selain itu, evaluasi terhadap tim ini juga tidak pernah dipublikasikan oleh pemerintah," ungkap Peneliti ICW Wana Alamsyah dalam pesan singkatnya, Jumat (10/7).

Pemerintah, lanjut Wana, seharusnya fokus untuk memperkuat aparat penegak hukum (APH) dibandingkan mengaktifkan kembali TPK. Menurutnya, tim tersebut berpotensi tumpang tindih dari segi kewenangan karena melibatkan kementerian dan beberapa perangkat penegak hukum.

"Berdasarkan catatan ICW sejak 1996-2018, terdapat 40 buronan kasus korupsi yang belum dapat ditangkap oleh penegak hukum. Artinya, yang harus diperkuat dalam hal ini adalah aparat penegak hukumnya," kata Wana.

Wana pun  menyoroti penangkapan buronan kasus pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif, Maria Pauline Lumowa, melalui jalur ekstradisi. Wana berharap pemerintah atau penegak hukum fokus pada pendekatan non formal antar negara untuk mempercepat proses penangkapan puluhan buronan yang bersembunyi di negara lain.

"Jangan sampai di dalam kondisi pandemi saat ini, upaya untuk membuat task force baru malah menjadi kontra produktif," tegasnya.

Sementara anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai keberadaan tim pemburu koruptor memang diperlukan di lintas instansi dan lintas institusi. "Efektif atau tidak itu kan kita lihat mereka bekerja dengan sungguh-sungguh atau tidak," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (10/7).

Ia menilai kerja tim pemburu koruptor tidak akan efektif jika dalam praktiknya masih dihadapkan dengan sistem hukum di negara lain di mana koruptor tersebut berada. Kendati demikin DPR akan melihat pembentukan tim tersebut bukan dari hasilnya, melainkan usahanya.

"Kalau sudah dikerjakan, diburu misalnya katakanlah Hendra Rahardja sampai ke Australia kemudian terhalang oleh sistem hukum di negara itu untuk bisa dibawa pulang ya itu lain soal," ujarnya.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan akan mengaktifkan lagi TPK. Mahfud MD, Rabu (8/7), menjelaskan Indonesia sebelumnya sudah mempunyai TPK, dan tim yang akan diaktifkan kembali tersebut beranggotakan pimpinan Polri, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham.

"Nanti dikoordinir kantor Kemenko Polhukam, tim pemburu koruptor ini sudah ada beberapa waktu dulu, berhasil. Nanti mungkin dalam waktu yang tidak lama tim pemburu koruptor ini akan membawa orang juga pada saat memburu Djoko Tjandra," kata Mahfud.

Untuk payung hukum TPK tersebut, menurut dia, Indonesia dulu sudah pernah memilikinya dalam bentuk instruksi presiden.

"Pernah ada Inpresnya dulu tapi kemudian Inpres ini waktu itu berlaku satu tahun, belum diperpanjang lagi. Kita akan coba perpanjang, dan Kemenko Polhukam sudah punya instrumennya dan kalau itu diperpanjang langsung nyantol ke Inpres itu," jelas dia.

Keinginan Mahfud terlontar setelah munculnya buronan cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Menurut dia, negara akan malu jika dipermainkan oleh buronan kelas kakap tersebut.

"Karena bagaimana pun malu negara ini kalau dipermainkan oleh Djoko Tjandra. Kepolisian kita yang hebat masak ndak bisa nangkap, kejagung yang hebat seperti itu masak ndak bisa nangkap," ujar Mahfud.

Mahfud menuturkan, setelah berbicara dengan para ahli ia menilai semestinya pengejaran terhadap Djoko Tjandra merupakan persoalan sepele bagi Polri dan Kejagung. Menurutnya, seharusnya aparat penegak hukum dapat dengan mudah mengendus keberadaannya.

Karena itu, kata dia, akan keterlaluan jika Polri maupun Kejagung tak bisa melakukannya.

Ia mengundang empat institusi terkait untuk membahas perihal pemburuan terhadap Joko Tjandra. Keempat institusi itu, yakni Kejagung, Polri, Kemenkumham, Kemendagri, dan KSP.

"Kita optimis nanti cepat atau lambat akan kita tangkap, optimis. Dan tadi semua institusi, Kejagung, Polri, bertekad untuk mencari dan menangkapnya. Baik secara bersama-sama maupun menurut kewenangannya masing-masing siapa yang menangkap duluan begitu," jelas dia.

Indonesia memang belum berhasil menangkap Djoko Tjandra. Tapi buronan 17 tahun pembobol kas BNI Maria Pauline Lumowa kemarin berhasil diekstradisi dari Serbia.

Keberhasilan tersebut membawa harapan bagi kemungkinan ditangkapnya sejumlah koruptor lain seperti Harun Masiku. Setibanya di Tanah Air, pasal berlapis yaitu pasal tindak pidana korupsi dan pasal pencucian uang menanti Maria Pauline Lumowa.

Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor dengan ancaman pidana seumur hidup. Kemudian Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TTPU.

photo
Koruptor berpotensi bebas menyusul wacana revisi PP 99/2012. - (Republika/Berbagai sumber diolah)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement