Sabtu 11 Jul 2020 10:50 WIB

Penganiayaan Saksi dan Berulangnya Penyiksaan oleh Polisi

Kontras menilai penyiksaan oleh polisi menyangkut pola yang terus berulang.

Red: Ratna Puspita
polisi
Foto: istimewa
polisi

Oleh Arif Satrio Nugroho

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penganiayaan saksi bernama Sarpan (53 tahun) oleh polisi di Polsek Percut Sei Tuan, Medan, tengah menuai sorotan publik. Sarpan diduga disiksa agar mau mengaku sebagai pelaku pembunuhan. 

Baca Juga

Kasus yang menyebabkan kapolsek dicopot ini bukanlah satu-satunya kasus dan menambah rentetan fenomena penyiksaan aparat dalam proses hukum yang terjadi. Pada masa Orde Baru, kekerasan aparat diduga lazim terjadi. Namun, berpuluh tahun setelah reformasi pun, penganiayaan aparat masih saja terjadi. 

Pada September 2019 lalu, demo Reformasi Dikorupsi meletus di DKI Jakarta. Setelah demo, ratusan mahasiswa dibekuk oleh Polda Metro Jaya.

Berdasarkan kesaksian sejumlah mahasiswa yang ditangkap serta laporan berbagai media, mahasiswa mengalami penyiksaan, penganiayaan oleh aparat saat mereka ditahan di Polda Metro Jaya. Bahkan, penganiayaan dilakukan dengan berbagai benda tumpul. 

Aktivis dan musisi Ananda Badudu yang ditangkap di aksi tersebut juga sempat mengungkap bahwa para mahasiswa mendapat perlakuan yang tak sesuai kaidah hukum. 

Salah satu korban yang disiksa polisi dalam kasus demo Reformasi Dikorupsi adalah Dede Alfiandi alias Lutfi yang dikenal sebagai 'pembawa bendera'. Di persidangan, Lutfi mengaku dirinya disiksa agar mengaku melempar batu ke aparat kepolisian.

photo
Terdakwa kasus aksi unjukrasa pelajar pembawa bendera merah putih di gedung DPR Dede Lutfi Alfiandi bersiap mengikuti sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 30 Januari silam. - (Republika/Thoudy Badai)

Bukan hanya dipukuli, Lutfi bahkan disetrum oleh 'sang pelindung dan pengayom masyarakat' itu agar mengaku sebagai pelempar batu ke polisi. 

Namun, pengusutan kekerasan oleh oknum kepolisian kerap tak jelas dan hanya sekadar pencopotan anggota dari jabatannya disertai sanksi disiplin. Kasus-kasus tersebut hanya merupakan puncak gunung es dari berulangnya berbagai kasus kekerasan. 

Menurut laporan pengaduan yang masuk ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) sejak 2011 sampai 2019, tercatat ada 445 kasus dugaan penyiksaan tahanan oleh polisi dengan 693 korban. Bahkan dalam laporan terbaru ya, KontraS menyebut Polri angka penyiksaan oleh polisi masih tinggi, yakni 48 kasus. 

Hasil itu didapatkan melalui survei yang KontraS lakukan sejak Juni 2019 hingga Mei 2020. Rinciannya, 28 kasus di kepolisian resor, 11 kasus di kepolisian sektor, dan 8 kasus di kepolisian daerah. 

photo
Kepala Biro Riset dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar (kanan)  - (Republika/Prayogi)

Peneliti Kontras Rivanlee Anandar menganalisis sejumlah penyebab penyiksaan kerap dilakukan oleh aparat. Pertama, kata Rivanlee, ada semangat 'menghukum orang' yang tinggi di kalangan penyidik.

Kedua, aparat kerap ingin segera menuntaskan kasus tanpa memahami persoalan secara komprehensif. Ketiga, Rivanlee menghubungkannya dengan relasi kuasa. 

"Relasi kuasa dan kultur kekerasan yang membudaya di tubuh kepolisian," ujar Rivanlee pada Republika, Sabtu (11/7).

Dengan berulangnya kasus penyiksaan oleh aparat baik polisi maupun TNI, Kontras menduga proses pengawasan di internal institusi hukum tak berjalan sebagaimana mestinya. "Jangan-jangan, selama ini proses pengawasan tidak berjalan dengan maksimal, sehingga penyidikan kerap diiringi praktik penyiksaan dan berulang," kata Rivanlee.

Ia juga menilai hal pencopotan aparat yang kerap menjadi solusi dalam terjadinya kasus penganiayaan tidak cukup. "Dalam beberapa kasus, pencopotan kepala (wilayah) tidak cukup menjawab persoalan, karena dianggap selesai. Sementara pelaku tidak dihukum secara pidana," kata Rivanlee.

Tiap kasus yang terduga pelakunya adalah anggota kepolisian, kata Rivan harusnya didorong ke proses peradilan umum sebagai bukti bahwa semua golongan sama di mata hukum. "Pengungkapan kebenaran dari kasus ini menjadi salah satu indikator bagi perbaikan penegakan hukum di Indonesia," kata dia.

Penyiksaan itu, kata Rivanlee, menyangkut pola yang terus berulang, sehingga proses pengungkapannya harus mengedepankan pro justicia.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, kembali terjadinya kasus penganiayaan aparat dalam proses hukum menunjukkan masih rendahnya pemahaman polisi atas prinsip hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM).

"Sekaligus menunjukkan masih ada anggota polisi yang menjadi predator dan monster bagi masyarakat," kata Neta saat dihubungi Republika, Sabtu (11/7).

IPW pun meminta agar Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Divpropam) meningkatkan kinerjanya. Dengan demikian, Polri bisa menjadi aparat yang benar-benar menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, seperti slogan yang kerap digembor-gemborkan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement