Kamis 16 Jul 2020 14:11 WIB

Kisah Bill Clinton Menangkan Pilpres dengan Program "Me Too"

Bill Clinton menggeser marketing politik dari ideologi partai ke persepsi pemilih.

Red: Karta Raharja Ucu
Bill Clinton
Foto: reuters
Bill Clinton

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny JA

Kisah Bill Clnton dalam pemilu presiden Amerika Serikat, 1996, tak hanya soal seorang tokoh yang ingin kembali menjadi presiden. Kisah itu juga menggambarkan pergeseran politik, dari ideologi partai  kepada preferensi pemilih.

Di tahun 1994, baru dua tahun Clinton menjadi presiden. Ia maju dan terpilih dari partai demokrat. Tapi saat itu, terjadi apa yang disebut revolusi partai republik. (1)

Buku Newt Gingrich berjudul Contract With America meledak di pasar. Buku itu mengedepankan kultur politik konservatif yang menjadi platform partai republik.

Yaitu kebijakan ekonomi yang lebih bergantung pada pasar. Peran pemerintah yang lebih minimal. Pajak yang lebih dikurangi agar peran swasta semakin tumbuh. Perhatian lebih besar kepada keluarga (family values). Dan memberi tempat lebih luas kepada  agama di ruang publik.

Menguatnya kultur konservatif itu ditandai oleh kemenangan telak Partai Republik dalam pemilu Midterm 1994. Akibat pemilu itu Republik menguasai House of Representatif secara telak. Selisih Republik dan Demokrat di sana sebanyak 54 kursi.

Pada 1995, Partai Republik juga menguasai senat. Dua senator asal partai demokrat pindah menjadi anggota partai republik. Mereka membaca berubahnya orientasi pemilih Amerika untuk lebih mengadopsi kultur politik konservatif.

Apa yang harus dilakukan Bill Clinton? Ia presiden dari partai Demokrat. Tapi konggres dikuasai oleh partai Republik. Clinton datang dari kultur politik yang lebih liberal sesuai dengan ideologi partainya, partai Demokrat. Tapi mayoritas kultur pemilih lebih konservatif, dan kurang liberal.

Tahun 1996 adalah pemilu presiden. Nasib Clinton di ujung tanduk. Isu, program dan ideologi partai demokrat tak lagi populer. Lawan politiknya adalah Bob Dole, dari Partai Republik, yang memajukan isu, program dan kebijakan yang konservatif.

Banyak yang menduga, Bill Clinton segera kalah dengan telak. Mood dari pemilih sedang tidak berpihak pada kultur politik partainya, Partai Demokrat. Namun Clinton lebih cerdas dari itu. Ia menyewa seorang konsultan politik bernama Dick Morris.

Untuk kembali menang, Dick Morris mengubah orientasi politik Clinton. Program, isu, kebijakan yang harus dibawa Clinton harus lebih konservatif. Clinton dipaksa meninggalkan “ideologi lama partai demokrat” yang tak lagi populer di mata pemilih.

Bill Clinton pun disulap mengadopsi apa yang oleh Partai Republik diejek sebagai  calon presiden “Me Too- Ism.” Apa pun yang dimajukan oleh saingannya, Bob Dole, Clinton akan mengatakan “Me Too.” Saya juga mengajukan program itu. (2)

Bob Dole mengajukan program kesejahteraan yang lebih konservatif. Untuk mendapatkan bantuan pemerintah, warga diharuskan juga bekerja. Segera Bill Clinton merespon: “Me Too".

Clinton menyatakan, ia mengajukan juga program yang sama. Penerima bantuan sosial pemerintah perlu didorong bekerja.

Bob Dole mengajukan kebijakan yang lebih longgar untuk berdoa di public school. Para guru dan murid lebih dibebaskan jika mereka ingin memulai kelas dengan berdoa lebih dulu. Clinton pun menjawab: Me Too! ujar Clinton, ia akan membolehkan moment of silence di public school.

Di mata pemilih, akibatnya tak banyak beda antara program dan isu Bill Clinton serta Bob Dole. Yang berbeda hanya masalah personality saja. Sedangkan soal personality, Bill Clinton jauh lebih menarik.

Akhirnya Bill Clinton pun terpilih kedua kalinya. Ini kemenangan marketing politik yang brilian. Seorang calon presiden dari Partai Demokrat bisa terpilih dalam kondisi kultur pemilih yang lebih sesuai dengan ideologi Partai Republik.

Bill Clinton terpilih karena ia mengikuti trend zaman. Yang utama bukan ideologi partai tapi preferensi pemilih ! Ini kalimat “wahyu” dalam marketing politik zaman ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement