Ahad 19 Jul 2020 15:15 WIB

Perempuan yang Patut Kusayangi

Apalagi yang bisa kuuraikan untuk mengatakan indahmu

Red: Karta Raharja Ucu
Perempuan yang Patut Kusayangi (cerpen)
Foto: Rendra Purnama/Republika
Perempuan yang Patut Kusayangi (cerpen)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  Isbedy Stiawan Zs

Sendiri Sepi I don't know! Itulah pesan dalam kiriman tiga kali masuk ke WhatsApp-ku sore ini. Siapa lagi kalau bukan Dinda Yuliastuti, sumber inspirasiku selama ini? Aku menyebutnya, Monalisa bagi karya-karyaku. Atau, si gadis Bali buat Blanco!

Dinda sendiri di kosnya. Teman-teman lain sedang berlibur menyambut Natal dan Tahun Baru. Ini 2018 Desember basah. Tiada hari tampaknya tanpa hujan. Entah malam, subuh, pagi, siang, atau petang. Sore ini, langit cerah. Sabtu benderang.

"Lalu?" tanyaku kemudian.

"Aku tak tahu."

"Aku tahu. Apa?" tanyamu.

"Pasti rindu. Tidaaak! Ya sudah, aku deh biarkan yang rindu," godaku.

"Nah itu betul. Kamu memang selalu punya simpanan rindu. Dibagi pada siapa saja. Kalau aku sementara jeda."

Obrolan di telepon genggam mengalir. Aku yakin, kamu dengan tersenyum-senyum saat menulis. Aku pun begitu. Layaknya kamu di depanku, dan aku di hadapanmu. Di sebuah kafe, yang kini belum kuperlukan namanya.

Kita mengobrol santai, walau tidak romantis. Sebab, tanpa pertengkaran lagi. Kamu juga sudah menyadari tak mudah merajuk, asalkan aku tidak membuatmu kesal. Nakal. Aku tahu, setiap kau menghubungiku lebih dulu, berarti kau sedang kesepian. Dan, rindu pastinya. Walaupun kamu tidak mengakui itu.

Bedanya perempuan dengan lelaki. Kalau lelaki, cepat dan berani mengungkapkan kangennya, bahkan dengan beberapa perempuan. Kalau wanita, lebih baik disimpan, disembunyikan. Kendati hatinya meradang. Pria yang teliti akan tahu membaca wajah wanita yang sedang dirajam rindu. "Jadi enggak usah ditanya lagi," katamu.

Kau senang tidak menjadi penghuni kotak dalam ceritaku. Dinda kubawa ke tiap adegan. Ke mana kusinggah, Dinda kusebut. Tak perlu memiliki dialog. Sejak kuniatkan ingin menghilangkan tokoh ini, kamu merajuk, marah, dan mengiba.

"Jangan! Tapi, kalau juga, baiknya kau matikan saja dari jembatan atau terjun dari lantai delapan sebuah bangunan. Sekalian menderita itu tokoh Dinda...."

Namun, kuputuskan tidak kuhilangkan. Aku cari tokoh lain yang bakal kukorbankan. Kau sangat riang. Kau mengusulkan, Rena tetap dipertahankan. Dia bisa jadi temanmu, atau saingan untuk memperoleh perhatianku. Tetapi, malah kumunculkan tokoh Sani. Perempuan yang ditinggal mati suaminya karena terserang penyakit paru-paru.

"Dia menikah lagi, tapi tak lama karena dilabrak istri pertama," jelasku.

"Waduh, kenapa malah ditambah tokohnya? Jangan-jangan kamu memang sengaja, cari cara buat membunuh tokoh Dinda," serobotmu cepat. Merajuk. Wajah memerah.

"Sensi amat!"

"Yalah. Kamu sih.... Itu kan biar seru aja ceritanya...." aku kasih alasan.

Tokoh Sani lengkapnya Mulyasani Indriati memang pernah muncul di kafe. Saat itu, aku bersama tokoh Rena, istri pelaut yang bule, di sebuah kafe.

"Alasan apa kamu memasukkan Rena ke dalam ceritamu?" selidikmu.

"Ia adalah reinkarnasi dari tokoh perempuan dalam cerpenku 'Bulan Rebah di Meja Diggers' yang kukira sangat berkesan. Ternyata, dia juga terinspirasi dengan tokoh tersebut," jelasku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement