Ahad 19 Jul 2020 16:18 WIB

Industri Penerbangan Masih Punya Peluang Akhir Tahun

Akhir tahun ini masih bisa menjadi peak season bagi maskapai nasional

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Maskapai penerbangan (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Maskapai penerbangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Amadjati mengungkapkan industri penerbangan masih memiliki peluang untuk bangkit kembali pada akhir 2020. Hanya saja, hal tersebut dapat terjadi jika bisa memaksimalkan kapasitas penerbangan yang saat ini sudah diperbolehkan hingga 70 persen.

“Sejak diperbolehkan kapasitas 70 persen, ini lumayan bisa menaikan trafik penerbangan ke 50 persen. Sebelumnya Cuma 10 hingga 30 persen,” kata Arista kepada Republika, Ahad (19/7).

Baca Juga

Bahkan, Arista menilai akhir tahun ini juga masih bisa menjadi peak season bagi maskapai. Khususnya sejak Desember 2020 hingga Januari 2021 karena terdapat momen libur akhir tahun dan natal.

Meskipun begitu, prediksi tersebut dapat terjadi jika ada upaya serius dalam menangani Covi-19. “Apa lagi ada hari libur Lebaran yang digeser ke akhir tahun, ini bagus juga, tapi dengan catatan Covid-19 melandai secara nasional,” ungkap Arista.

Terlebih, Arista mengharapkan pemerintah bisa mengatur biaya tes cepat sebagai syarat penumpang melakukan perjalanan. Dengan begitu dapat menggairahkan kembali industri penerbangan dan transportasi lainnya.

“Ii tes cepat di kereta api juga masih. Harusnya biayanya juga bisa murah. Biayanya harus seragam secara nasional,” tutur Arista.

Sementara itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan akan mengupayakan cara untuk memaksimalkan peak season akhir tahun. Momen tersebut menjadi satu-satunya peak season yang bisa diharapkan Garuda Indonesia saat ini. Sebab peak season saat mudik, umrah, haji, dan libur sekolah pertengahan 2020 sudah hilang.

Hanya saja, Irfan menuturkan masih harus dipertimbangkan kembali apakah memang keinginan masyarakat untuk berlibur sudah tinggi. “Dari masukan yang kita dapatkan, iya (tinggi). Tapi yang jadi persoalan, riset dari beberapa waktu lalu itu cukup menakjubkan 60 persen yang biasa terbang itu ambil posisi wait and see. Dia lihat dulu situasinya. Lebih banyak bertanya terbang aman atau tidak,” kata Irfan kepada saat berbincang dengan Republika di ruang kerjanya, Jumat (17/7).

Terlebih, Irfan menuturkan, Garuda Indonesia juga masih berupaya untuk mendapatkan keringanan sewa dengan melakukan negosiasi kepada lessor atau penyewa pesawat. Termasuk juga keringanan dari bank pemerintah.

Pada Juni 2020, Garuda Indonesia terpaksa mengandangkan 70 pesawatnya karena menurunnya trafik penerbangan. “Parkir semua itu pesawat. Makanya ini kelihatan dari ruang kerja saya juga. Pesawat yang parkir ini sudah berapa bulan dan saya bayar lho sewanya,” jelas Irfan.

Sebelumnya, Irfan mengungkapkan, Garuda Indonesia harus mengeluarkan biaya sekitar 70 juta dolar AS. Sementara dari diskusi dengan para lessor, Irfan menuturkan Garuda Indonesia baru berhasil meyakinkan beberapa lessor  saja.

“Tapi, kita berharap dapat kesepakatan penurunan biaya sewa pesawat di level 15 juta dolar AS hingga 20 juta dolar AS perbulan. Ini kalau kita kalikan 12 bulan, kita akan sampai 200 juta dolar AS penghematannya dari lessor ini,” jelas Irfan di Gedung DPR, Selasa (14/7).

Irfan mengatakan saat ini Garuda Indonesia memiliki total 155 pesawat dari 26 penyewa. Selain itu, komisaris dan pemegang saham Garuda Indonesia juga meminta sesegera mungkin mengembalikan Bombardier CRJ dan ATR karena tidak cocok dengan operasional yang dilakukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement