Kamis 23 Jul 2020 06:35 WIB

Teknologi Pengolahan Aspal di Era Kekhalifahan (3-Habis)

Seni membuat jalan berkembat pesat di negeri-negeri Islam.

Rep: Heri Ruslan/ Red: Muhammad Hafil
Teknologi Pengolahan Aspal di Era Kekhalifahan. Foto: Jembatan Cordoba yang legendaris.
Foto: Uttiek M Panji Astuti
Teknologi Pengolahan Aspal di Era Kekhalifahan. Foto: Jembatan Cordoba yang legendaris.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Penggunaan aspal menjadi pelapis jalan pun terus dikembangkan para saintis Muslim. Untuk melapisi jalan, para insinyur Muslim di Nebukadnezar menggunakan campuran aspal dengan pasir. Campuran pasir dan aspal untuk melapisi jalan itu di Irak dikenal dengan nama ghir.

Kosmografer Muslim, Al-Qazwini, dalam bukunya Aja'ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua macam campuran aspal dan pasir yang digunakan untuk melapisi jalan. Jika digunakan untuk mengaspal jalan, campuran itu dikenal sangat kuat dan lekat. Inilah salah satu bukti lagi bahwa peradaban Islam adalah perintis dalam berbagai penemuan dan teknologi. Sebuah kebanggaan yang seharusnya bisa menumbuhkan kembali semangat untuk bangkit mencapai kejayaan.

Baca Juga

Ali Ibnu Abbas Al-Majusi

Penemu Teknik Pengolahan Aspal

Haly Abbas. Itulah nama panggilan Ali Ibnu Abbas Al-Majusi di Barat. Dokter dan psikolog Muslim ini turut berjasa dalam mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak. Ilmuwan dari Persia itu cukup dikenal di Barat lewat buah pikirnya yang berjudul Kitab Al-Maliki serta Kitab Kamil as-Sina'a at-Tibbiyya (Complete Book of the Medical Art). Buku teks kedokteran dan psikologi yang ditulisnya itu sangat berpengaruh di Barat.

Al-Majusi terlahir di Ahvaz, Persia Tenggara. Ia menimba ilmu dari Syeikh Abu Maher Musa ibnu Sayyar. Ia adalah satu dari tiga dokter terhebat di kekhalifahan Islam bagian timur pada zamannya. Berkat kehebatannya itu, dia pun diangkat menjadi dokter di istana Amir Adhad al-Dowleh Fana Khusraw--salah seorang penguasa dari Dinasti Buwaih--yang berkuasa dari tahun 949 M hingga 983 M.

Ia mendirikan sebuah rumah sakit di Shiraz, Persia, serta Rumah Sakit Al-Adudi di Baghdad pada 981 M. Sebelum masuk Islam, Al-Majusi adalah penganut Zooraster yang menyembah api. Al-Majusi berhasil mengolah aspal menjadi minyak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit dan luka kulit. Ia memeras endapan aspal yang dipanaskan untuk diambil airnya.

Selama mengabdikan dirinya untuk Amir Dinasti Buwaih, Al-Majusi menulis Kitab al-Maliki (Buku Istana). Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Liber Regalis atau Regalis Dispositio. Buku ini dianggap lebih sistematis dan lebih ringkas dibandingkan ensiklopedia karya Al-Razi yang berjudul Al-Hawi. Bahkan, dibandingkan dengan The Canon of Medicine karya Ibnu Sina yang legendaris itu, Kitab Al-Maliki ini dipandang lebih praktis.

Kitab Al-Maliki terbagi dalam 20 diskursus. 10 bab pertama mengulas teori dan 10 bab sisanya mengupas praktik kedokteran. Kitab karya Al-Majusi itu diterjemahkan oleh Constantinus Africanus ke dalam bahasa Latin berjudul Liber Pantegni.

Buku itulah yang menjadi rujukan teks didirikannya Sekolah Kedokteran Salernitana di Salerno. Secara utuh, kitab itu diterjemahkan oleh Stephen Antioch pada tahun 1127 M. Buku kedokteran itu lalu dicetak di Venicia pada 1492 dan 1523 M.

Dalam karyanya itu, Al-Majusi menekankan pentingnya hubungan yang sehat antara dokter dan pasien. Hubungan itu, kata dia, sangat penting dalam etika kedokteran. Kitab itu juga mengupas secara detail metodologi ilmiah yang berkaitan dengan riset biomedikal modern. Secara khusus, sang ilmuwan juga mengupas seluk-beluk masalah psikologi dalam bukunya The Complete Art of Medicine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement