Sabtu 08 Aug 2020 06:06 WIB

Setan Kecil di Telingaku

Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin mengusirnya dengan senapan.

Red: Erik Purnama Putra
Senapan AK 47 (ilustrasi).
Senapan AK 47 (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Eko Darmoko*

Semua rencana yang kususun selama dua pekan ini berantakan. Hancur semuanya. Kehancuran rencana-rencana ini dipicu oleh wabah yang dibawa seekor mahkluk kecil yang bersemayam di telingaku. Aku tak tahu persis mahkluk apa yang sudah membuat telingaku sakit, juga pendengaranku hilang separuh karena ulahnya.

Makhluk kecil itu sungguh kurang ajar. Tanpa permisi dan tanpa persetujuan dariku, ia masuk dengan seenaknya ke dalam telinga kananku. Semua kesialan ini terjadi ketika kami menonton pertunjukan teater di gedung kesenian di pusat kota.

Bedebah kecil itu masuk secara brutal. Menciptakan bunyi denging dan gesekan di gendang telingaku. Sejak saat itu ia menghuni telinga kananku dan merusak separuh dari pendengaranku.

Pertunjukan teater belum selesai, tapi aku memberanikan diri meninggalkan gedung kesenian tanpa pamit kepada teman-teman. Ketika sampai di parkiran motor, aku ditegur oleh juru pakir.

“Mas, karcisnya mana?”

Suara itu terdengar sangat pelan. Sangat pelan. Padahal aku lihat dari ekspresi dan cara berbicaranya saat itu, raut mukanya tegang dan ganas. Terlihat otot-ototnya menegang di sekitaran leher.

Menangkap suaranya yang hampir tak terdengar itu, aku menyimpulkan bahwa ia hendak menarik karcis dan meminta bayaran. Lalu kukeluarkan karcis itu dan kupungut selembar uang kertas dari kantong jin (jeans). Kemudian mengulurkan padanya. Motor kugeber kencang. Persetan!

Selama perjalanan pulang aku tak mendengarkan apa-apa selain ocehan mahkluk kecil itu. Telingaku dirusaknya dengan bunyi denging yang semakin keras. Keras! Bahkan bunyi klakson tronton besar tak sanggup menembus telingaku. Karena semakin sakit telingaku, aku pun berteriak mengumpat: “Setan!” Dan sejak saat itulah aku memanggil bedebah kecil di telingaku dengan sebutan setan kecil.

Sesampainya di rumah aku langsung mandi. Berharap setan kecil ini menguap oleh siraman air di sekujur tubuh. Dan, ternyata tidak. Ia malah gigih membuat gaduh isi telinga kananku. Bunyi denging itu semakin dahsyat menghajar gendang telingaku. "Baiklah." Kataku dalam hati. “Aku akan melawan setan kecil ini.”

Selesai mandi aku langsung menuju kamar tanpa menyapa orang yang kutemui. Di dalam kamar aku melawan setan kecil ini dengan menyetel lagu-lagu cadas. Berharap ia akan merasakan bising dan keluar dari telinga kananku.

Dengan volume suara tertinggi, aku menyetel lagu-lagu Nirvana yang terangkum dalam album kaset Nevermind. Aku yakin lagu-lagu dalam album ini sanggup menandingi kebisingan yang dibuat oleh setan kecil. “Semoga setan kecil ini bisa kuusir dengan jeritan suara Kurt Cobain yang terdengar seperti raung kesakitan yang menyayat-nyayat.”

Ibuku masuk ke dalam kamar dan memerintahkan aku untuk mengecilkan suara musik yang kusetel (sesungguhnya aku tak mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Ibuku. Aku hanya menebaknya saja dari ekspresi mukanya dan dari gerakan tangan yang menunjuk ke arah tape recorder).

Side A kaset sudah habis kudengarkan. Namun setan kecil itu tak keluar juga dari telingaku. Malahan bunyi dengingan dalam telingaku makin menjadi-jadi dan mengakibatkan pening di kepalaku. Wabah sialan! “Barangkali dengan tidur semuanya akan beres.” Kataku dalam hati menyakinkan diri sendiri.

Malam itu aku tidur dengan menindihkan bantal ke arah telingaku. Sehingga aku hampir-hampir tak mendengarkan sesuatu sama sekali. Akhirnya, dengan susah payah aku dapat tidur dengan nyenyak. Dan di pagi hari, ketika aku terbangun, aku makin jengkel dengan ulah setan kecil ini. Telingaku masih sakit, dan gatal.

“Aku benci dengan telingaku.” Teriakku dalam hati. “Aku ingin membeli senapan, lalu menembakkannya ke telinga kananku.”

Mungkin dengan cara inilah aku dapat membunuh setan kecil itu, sekaligus melenyapkan wabah agar tidak berkembang biak. Ya, aku akan menembaknya suatu saat nanti. Aku akan melawan setan kecil ini. Dan aku yakin pasti aku yang menang.

Seharian penuh aku hanya mengurung diri dalam kamar. Keluar kamar hanya untuk makan dan buang air. Permenungan di dalam kamar kugunakan untuk berpikir bagaimana caranya mengusir setan kecil ini.

Aku mencari jalan keluarnya. Jujur, aku tak berani jika harus menembak ke arah telingaku sendiri untuk mengusir setan kecil itu. Namun, jika sangat terpaksa, akan kuberanikan diriku untuk menembaknya. Lihat saja nanti!

Hidup di dunia yang selalu ramai dengan bebunyian semesta, tentu sangat nikmat. Namun, tidak denganku. Walaupun berada di tengah-tengah keramaian aku tetap saja diselimuti senyap. Suara-suara semesta itu tak mau menjenguk telingaku.

Hanya karena ulah setan kecil yang ada di telingaku, aku malas melakukan apa-apa. Padahal dalam dua pekan ini aku mempunyai rencana besar yang semuanya berurusan dengan telinga. Dengan kata lain, aku memerlukan ketajaman telingaku untuk menangkap suara semesta yang terlembut yang pernah kudengar.

Suara lembut itu seharusnya dapat kudengarkan dari seorang gadis. Aku ingin mendengarkan penjelasan darinya; mengapa sikapnya mendadak dingin? Sudah lama aku memutuskan untuk mengajaknya bicara. Tapi, bagaimana mungkin semua itu kulakukan.

Kini telingaku kehilangan hampir separuh pendengarannya. Dan, sudah barang tentu, suara lembut gadis itu tak kan sempurna masuk ke dalam telingaku. Aku tak mau itu terjadi. Aku hanya ingin mendengarkan kelembutan suaranya sesempurna mungkin.

Aku yakin (entah dapat ide dari mana), untuk mengobati kerinduan terhadap suara lembut gadis itu, aku harus meraih ketinggian dengan hanya ditemani sunyi. Dengan kesunyian aku yakin dapat mengingat kelembutan suara semesta yang terucap dari bibir gadis itu. Setidaknya menurut apa yang sudah kuingat.

Malam hari, di saat bulan hanya terlihat separuh sama seperti pendengaranku, aku pergi ke atap tertinggi sebuah plaza di pusat kota. Di sana, di ketinggian itu, aku mencoba kembali memugar ingatanku terhadap suara lembut itu. Juga sesekali aku membayangkan wajahnya yang manis, bibirnya yang selalu ranum saat kulumat habis-habisan.

Ah, aku tak pernah lupa dengan suara itu. Suara itu terlalu indah untuk dibuang dari ingatanku. Suara itu, bagiku, adalah ingatan sepanjang malam. Di semesta ini tak ada suara yang semerdu suaranya, walaupun hanya sebatas ingatan di kepalaku.

Menikmati suara merdunya melalui ingatan dengan hanya ditemani kesunyian adalah ritual paling indah. Ritual ini sengaja kulakukan untuk membunuh sepi (walaupun keadaan di sekelilingku tidak benar-benar sepi). Untuk wujud teman, aku perlukan menyulut rokok.

Aku yakin, asap rokok adalah teman sejati yang kumiliki selama ini. Ia tak pernah menuntut lebih dariku. Bahkan ia pasrah ketika kubentuk menjadi cincin Saturnus.

Untuk beberapa saat, kelembutan suaranya yang kuimajinasikan dengan hanya bermodalkan keping-keping ingatan, ternyata tak membuat setan kecil di telingaku jera.

Setan kecil ini bahkan semakin betah menghuni bagian dari telingaku. Seluruh lorong-lorong telinga kananku dibuatnya gaduh. Hanya bising mendenging yang kurasakan: seperti ribuan galon air menerjang telingaku. Sakit dan gemuruh.

Jengkel karena ulah setan kecil ini. Aku pun memutuskan untuk meninggalkan atap ini. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin mengusirnya dengan senapan. Motorku pun meluncur ke rumah seorang teman yang dulunya pernah tinggal di Kalimantan.

Suatu kali ia pernah berkata padaku, “Ayahku punya senapan untuk berburu. Dulu ketika masih dinas di Kalimantan beliau sering menggunakannya untuk berburu celeng.” Kuketuk pintuh rumahnya. Tak lama kemudian ia membuka pintu.

“Aku pinjam senapanmu, boleh?” kataku tanpa menyapanya terlebih dulu. “Seingatku dulu kau pernah bercerita kalau ayahmu mempunyai senapan.”

“Buat apa?” tanyanya.

“Buat berburu.” Jawabku ngawur. “Tolong, aku butuh senapan itu.”

“Berburu di mana?”

“Ah, ayolah, lain kali saja aku ceritakan.” Aku memohon padanya. “Sekarang ambil saja senapan itu. Sumpah, tolonglah aku.”

Setelah berpikir sebentar, ia pun masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian ia keluar dengan menjinjing senapan beserta tasnya.

“Pelurunya?” tanyaku.

“Sudah kutaruh di dalam tas.”

“Terima kasih,” jawabku singkat. Dan kutinggalkan rumahnya dengan tergesa-gesa tanpa berpamitan.

Kutarik gas motor hingga mencapai puncak kecepatannya. Berharap aku sampai rumah dalam waktu yang singkat. Sepuluh menit kemudian aku sampai di rumah. Saat itu rumah sedang sepi. Aku tak tahu keluargaku sedang pergi ke mana. Begitu sampai di dalam kamar, aku keluarkan senapan dari tasnya.

Peluru kupungut dan kuisikan pada senapan berat ini. Bidikan moncong senapan kuarahkan ke lubang telinga kananku. Terdengarlah suara ledakan mahadahsyat. Dan tubuhku terpental, terbang menuju langit.

*Eko Darmoko, penulis prosa kelahiran Surabaya. Lulusan Sastra Indonesia Unair. Cerpen-cerpennya dimuat Harian Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, dan surat kabar lainnya. Buku kumpulan cerpennya “Ladang Pembantaian” diterbitkan Pagan Press tahun 2015. Anggota Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya.. Akun Instagram dan Twitter @ekodarmoko

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement