Senin 10 Aug 2020 06:11 WIB

Perburuan Celurit Api

Konon siapa pun yang memegang celurit api Ki Semoko dipercaya kebal senapan.

Red: Karta Raharja Ucu
Ilustrasi cerpen Perburuan Celurit Api
Foto: Rendra Purnama/Republika
Ilustrasi cerpen Perburuan Celurit Api

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Edy Firmansyah

Malam gelap dan udara dingin tak menyurutkan Ladrak untuk terus menaiki Bukit Pandan malam itu. Ia mendaki dengan kelincahan seekor kettang alasmenaiki pepohonan. Malam itu angin mati.

Pepohonan menunduk lesu setelah seharian dicambuk lidah matahari. Tapi, Ladrak terus mendaki, menghindari kejaran kompeni. Dengan segenap tenaga yang ia miliki.

Dalam pelariannya, setiap kali ia mengingat peristiwa pembantaian itu, napasnya makin menderu. Dadanya sesak seperti tertimpa puluhan batu.

Betapa tidak, ia memimpin ribuan orang. Termasuk anak-anak dan para perempuan yang menolak Belanda datang lagi di tanah kelahirannya, Pamekasan. Mereka tak sudi berada di bawah sepatu lars kompeni.

Ribuan orang itu memadati alun-alun kokta dengan senjata tajam dan telur di tangan, berdemonstrasi agar Belanda pergi, sambil mengumandangkan takbir. Tapi para marinir Belanda yang berjaga di sekitar Masjid Syuhada bergeming. Mereka bersiaga dengan senapan terkokang. Massa kemu dian merangsek maju untuk memasuki masjid.

Saat itulah tiba-tiba terdengar suara rentetan senapan dari arah utara masjid, kemungkinan besar dari tembakan bar, disusul rentetan senapan lainnya dari berbagai arah. Kegaduhan tak terhindarkan, juga teriakan.

Teriakan orang-orang di ambang maut. Ladrak menyaksikan gelombang besar massa yang rata-rata bersarung bergelimpangan seperti daun kering yang jatuh dari rantingnya. Beberapa lainnya yang terluka dan tidak terluka, termasuk Ladrak, memasuki leke yang terbuka, merangkak menyelamatkan diri.

Sekitar 600 orang, Meertje, 600 orang, laki-laki dan perempuan terkapar bersimbah darah, ujar Ladrak kepada kekasihnya yang peranakan Belanda sambil menggebrak meja. Setelah berhasil meloloskan diri dari maut, Ladrak bergegas menuju rumah Meertje untuk persembunyian sementara.

"Sabar, Ladrak, Sabar!"

"Aku tak bisa bersabar melihat kebiadaban," ujar Ladrak. Kali ini ia menyambar kendi di sisi meja dan menenggaknya.

Mendadak terdengar ketukan pintu depan rumah Meertje.

"Siapa?" Meertje berteriak dari ruang tengah. Sementara Ladrak bergegas melompat dari kursi menempel ke dinding di samping jendela, bersiap kabur jika tamu di luar ternyata marinir Belanda.

"Carang!"

Meertje bergegas membukakan pintu.

Ladrak kembali ke tempat duduknya se mula. Carang adalah teman seperjuangan Ladrak. Ia juga merupakan telik sandi laskar.

"Ada apa?" ujar Ladrak kepada Carang saat ia berdiri di hadapannya.

"Kak Ladrak harus segera melarikan diri dari rumah ini. Marinir Belanda mulai mendatangi rumah-rumah penduduk dan menangkapi orang-orang. Kak Ladrak sekarang buronan," kata Carang. Nada suaranya pelan.

"Baiklah!" Ladrak berdiri dari tempat duduknya semula. Mencium kening Meertje yang masih tertegun di muka pintu.

"Ke mana?" tanya Meertje dengan nada cemas.

"Ke tempat aman. Percayalah, aku akan kembali."

Ladrak dan Carang keluar dari rumah Meertje. Keduanya berpisah di pengkolan jalan.

Dalam pelarian itu, saat memasuki pasar, Ladrak bertemu dengan seorang oghem dan meramalkan kemenangan melawan Belanda dengan syarat menggali kuburan Ki Semoko. Konon siapa pun yang memegang celurit api Ki Semoko dipercaya kebal senapan dan ilmu kanuragannya meningkat sepuluh kali lipat.

Ki Semoko adalah pendekar terkenal di kampung Ladrak. Kebal peluru. Namun, ia mati diracun karena menolak pembangunan rel kereta api oleh muridnya sendiri yang jadi antek Belanda.

Hanya dengan celurit Ki Semoko kau bisa mengalahkan kompeni-kompeni itu. Kata-kata seorang oghem itu terus terngiang-ngiang dalam kepalanya. Kata-kata itu pula yang membulatkan tekadnya menuju Bukit Pan dan tempat kuburan Ki Semoko berada dan berniat mengambil celurit api yang ikut dikubur bersama jasad pendekar itu untuk membalas dendam.

Ia mendaki dengan kelincahan seekor kera. Malam itu angin mati. Pepohononan menunduk lesu setelah se harian dicambuk lidah matahari. Ladrak terus mendaki menuju kuburan Ki Semoko di atas bukit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement