Kamis 13 Aug 2020 17:08 WIB

Nasib Restorasi Gambut dan Masyarakat Adat

Kawasan gambut sebelum BRG adalah lahan bancakan perusahaan sawit dan HTI.

Red: Karta Raharja Ucu
Petani jahe Mansur (40 tahun) memperlihatkan tanaman jahe hasil panen dari kebunnya di Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Kamis (2/7/2020). Di atas lahan gambut seluas 2.500 m2 yang dibuka serta dibersihkannya tanpa dibakar tersebut Mansur menanam jahe dengan menggunakan teknik budidaya organik yang mengandalkan mikroba pengurai bernama F1 Embio, guna mengembalikan kesuburan untuk memperbaiki keseimbangan ekologi tanah.
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Petani jahe Mansur (40 tahun) memperlihatkan tanaman jahe hasil panen dari kebunnya di Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Kamis (2/7/2020). Di atas lahan gambut seluas 2.500 m2 yang dibuka serta dibersihkannya tanpa dibakar tersebut Mansur menanam jahe dengan menggunakan teknik budidaya organik yang mengandalkan mikroba pengurai bernama F1 Embio, guna mengembalikan kesuburan untuk memperbaiki keseimbangan ekologi tanah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Isu pembubaran Badan Restorasi Gambut memunculkan keraguan sekaligus kecemasan bagi masyarakat adat yang tinggal dan hidup di sekitar kawasan tersebut. Keraguan menyangkut komitmen pemerintah akan program restorasi gambut yang sesungguhnya masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Adapun kecemasan bisa digambarkan sebagai kekhawatiran masyarakat adat atas hilangnya peran negara yang selama ini dijalankan lembaga ad hoc di bawah presiden itu.

Semenjak BRG dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, optimisme akan pembenahan dalam hal pengelolaan lahan dan hutan gambut muncul. Lembaga ini lahir pada Januari 2016 setelah Indonesia mengalami tragedi kebakaran yang cukup hebat.

Bencana asap tahun 2015 banyak menimbulkan kerugian. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), 60 juta orang terpapar asap, 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar, dan kerugian material Rp 221 triliun.

Kebakaran besar itu dampak dari semakin banyaknya areal gambut yang dipaksa dikeringkan untuk kepentingan pembukaan lahan sawit dan hutan tanaman industri. Masyarakat adat yang mengelola areal gambut di tingkat tapak, dengan menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan prinsip utama areal tersebut sebagai lahan basah, justru terusir akibat maraknya izin konsesi di kawasan itu.

Bisa dibilang, periode sebelum ada BRG, kawasan gambut ibarat areal tak bertuan dan menjadi lahan bancakan bagi perusahan sawit dan HTI. Centang perenang pengelolaan kawasan gambut sejatinya sudah dimulai sejak bergulirnya Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Maraknya model ekonomi lahan kering di kawasan gambut dengan mengubahnya menjadi sawah, perkebunan sawit, dan HTI belakangan menimbulkan kerusakan ekologis dan sosial yang yang luar biasa. Masyarakat adat yang sudah teruji mengelola areal gambut dengan kearifan lokalnya menjadi korban karena terusir dari kawasan yang sudah turun-temurun mereka tempati.

Mereka juga menjadi korban langsung atas bencana kebakaran yang timbul sebagai dampak carut marutnya pengeloaan kawasan gambut ketika itu. Tak heran kalau pada periode sebelum ada BRG, masyarakat di sekitar kawasan lahan dan hutan gambut merasakan negara tidak hadir untuk mereka.

Angin segar itu bertiup ketika di awal pembentukannya BRG berkomitmen menggandeng masyarakat adat untuk merestorasi kawasan gambut. Tugas lembaga ini tak ringan dengan kewenangannya yang tidak besar.

Urgensi pembentukan BRG adalah mencegah kebakaran lahan gambut yang kerap berulang setiap tahun. Pembentukan lembaga ini juga untuk mewujudkan komitmen pemerintah Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen. Dengan luas mencapai 13,9 juta hektare, menurut data Badan Restorasi Gambut, seluruh lahan gambut Indonesia mengandung cadangan karbon sebesar 46 gigaton atau 8-14 persen total cadangan karbon dunia.

Karena peran vitalnya sebagai penjaga iklim global, keberadaan gambut Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Kerusakan gambut seperti perubahan tutupan lahan, keberadaan kanal-kanal buatan untuk pengeringan, dan kebakaran adalah sumber emisi karbon yang nyata. Karena itu, keberadaan lembaga yang bisa mencegah kebakaran sekaligus merestorasi restorasi gambut menjadi sangat penting dan tidak boleh setengah-setengah.

Sistem pengelolaan kawasan gambut yang ideal sesungguhnya sudah dipraktikkan masyarakat adat selama puluhan tahun. Prinsipnya sederhana, yakni dengan mempertahankan kawasan itu sebagai lahan basah sembari memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi lokal. Contoh praktik seperti ini terjadi pada masyarakat ada dengan budi daya Itik Alabio di Kalimantan Selatan, di Sumatra Selatan ada peternakan kerbau rawa, dan budi daya ikan masyarakat lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement