Rabu 26 Aug 2020 17:34 WIB

Pahala Membebaskan Utang

Setidaknya ada empat macam pahala bagi orang yang membebaskan utang.

Red: Irwan Kelana
Memberi uang, dan membayar hutang (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron
Memberi uang, dan membayar hutang (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Ajaran Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Allah SWT, tapi juga hubungan dengan sesama manusia. Misalnya, dalam soal utang-piutang. Allah SWT memberi titah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. al-Baqarah/2: 282).

Menurut pengarang Tafsir Jalalain, yang dimaksud dengan “bermuamalah” dalam ayat ini adalah mengadakan utang-piutang. Contohnya, transaksi jual-beli dan sewa-menyewa yang disepakati dengan cara pinjaman atau berupa pesanan yang akan dibayar kemudian. Tujuan ditulis adalah untuk menghindari pertikaian pada suatu hari nanti.

Di luar persoalan jual-beli, sejatinya memberi utang atau pinjaman bagian dari meringankan kesusahan sesama. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat.” (HR. Muslim). Inilah pahala memberi pinjaman.

Memberi pinjaman kepada seorang pedagang berarti memberi modal usaha yang diharapkan usaha tersebut dapat berkembang. Selanjutnya, apabila berhasil pedagang tersebut dapat berdaya memberi nafkah keluarga dan mendidik anak-anaknya. Di sinilah letak pentingnya memberi bantuan pinjaman kepada saudara, tetangga, atau siapa saja. 

Namun dalam perjalanannya, kerap kali orang yang diberi pinjaman tidak mampu mengembalikannya. Penyebabnya, bisa karena terjadi wabah penyakit sehingga usaha tidak berjalan dengan lancar. Bisa juga karena yang diberi pinjaman mengalami kegagalan usaha akibat ketatnya persaingan dagang, praktik dagang curang, atau karena sebab lainnya.

Dalam kondisi seperti ini, orang yang berpiutang tetap berkewajiban menagih utang, namun dengan tetap memperhatikan keadaan. Nabi SAW mengajari, “Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (piutangnya).” (HR. Bukhari). Inilah pahala kedua bagi pemberi pinjaman.

Dalam doa Nabi SAW ini, yang dimaksud,  “Semoga Allah merahmati” adalah semoga Allah SWT menyayangi. Menurut Syaikh al-Ashfihani dalam karyanya Mufradat Alfadz al-Qur’an, rahmat itu berarti kelembutan atau berbuat baik. Jadi dalam hal ini, pahala yang diperoleh berupa kelembutan dan kebaikan dari Allah SWT bagi pemberi pinjaman.

Selanjutnya, orang yang memberi pinjaman wajib juga memberi tangguh atau kesempatan kepada orang yang berutang. Allah SWT berfirman, “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah/2: 280). 

Apabila orang yang memberi pinjaman memberi tempo waktu pembayaran, maka ia akan mendapat pahala ketiga. Nabi SAW memberi kabar gembira, “Barangsiapa memberi tenggang waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunasi utang atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah.” (HR. Muslim). 

Jadi orang yang memberi pinjaman juga akan memperoleh pahala yang keempat. Misalnya, andaikata sudah berkali-kali ditagih tapi yang berutang belum kunjung juga membayar karena alasan yang masuk akal, bahkan kian hari usahanya makin jatuh dan keadaan ekonominya terus memburuk, maka membebaskan utang akan memperoleh pahala juga.

Nabi  SAW bersabda, “Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berseru, “Lihatlah amalannya.” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Tuhanku. Aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. (Yakni), dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang (yang membutuhkan).

Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tempo sampai dia mampu melunasinya.”   Lantas Allah menegaskan, “Aku lebih berhak memberi kemudahan.”  Orang ini pun akhirnya diampuni.” (HR. Ahmad).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement