Rabu 02 Sep 2020 12:09 WIB

Menkeu: Ekonomi Belum Pulih Sampai Semester I Tahun Depan

Selain penanganan Covid-19, penentu pertumbuhan ekonomi ialah dukungan fiskal.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) membacakan tanggapan pemerintah atas pandangan umum fraksi terhadap RUU APBN tahun 2021 beserta nota keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/9). Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan, pemulihan ekonomi belum dapat memberikan hasil maksimal hingga semester pertama tahun depan.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) membacakan tanggapan pemerintah atas pandangan umum fraksi terhadap RUU APBN tahun 2021 beserta nota keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/9). Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan, pemulihan ekonomi belum dapat memberikan hasil maksimal hingga semester pertama tahun depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan, pemulihan ekonomi belum dapat memberikan hasil maksimal hingga semester pertama tahun depan. Sebab, pandemi Covid-19 masih akan menjadi faktor yang menahan pemulihan pada konsumsi dan investasi maupun pemulihan ekonomi tingkat global.

Sri menjelaskan, kunci utama untuk mengatasi pandemi Covid-19 saat ini adalah pengadaan vaksin dan pelaksanaannya secara meluas. Sedangkan, kunci ini diperkirakan baru bisa dilakukan pada semester kedua 2021.

Baca Juga

"Sehingga, semester 1 tahun depan, tidak bisa diasumsikan ada pemulihan yang fully power," ucapnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (2/9).

Sri menambahkan, pemulihan ekonomi di skala Indonesia ataupun global akan sangat bergantung pada situasi pada semester II tahun depan. Khususnya terkait pelaksanaan vaksinasi yang bisa dilakukan ke banyak masyarakat. Faktor inilah yang akan memberikan pengaruh seberapa tinggi tingkat pemulihan sepanjang 2021.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 dalam rentang 4,5 persen sampai 5,5 persen.

Selain keberhasilan penanganan Covid-19, Sri menambahkan, faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi tahun depan adalah dukungan ekspansi fiskal dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Di sisi lain, keberhasilan reformasi yang bisa mengembalikan kepercayaan diri dunia usaha, sehingga bisa meningkatkan produktivitas.

Iklim investasi dan pemulihan ekonomi global yang membaik juga disebutkan Sri sebagai faktor penentu kondisi ekonomi domestik tahun depan.

Situasi tahun ini turut menjadi penentu pemulihan ekonomi pada 2021. Kemenkeu memperkirakan, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 dapat tumbuh di kisaran minus 1,1 persen sampai 0,2 persen.

Sri mengatakan, batas bawah dari proyeksi tersebut menggambarkan kemungkinan ekonomi mengalami kontraksi pada kuartal ketiga. "Dan, kuartal keempat masih dalam zona sedikit di bawah netral," katanya.

Sedangkan, Sri menambahkan, batas atas dari proyeksi (0,2 persen) mengasumsikan akan adanya pemulihan pada kuartal ketiga dan keempat. Khususnya untuk mengompensasi kontraksi dalam pada kuartal kedua yang mencapai minus 5,32 persen.

Pemulihan Masih Rapuh

Sampai saat ini, Sri menyebutkan, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah mulai menunjukkan tren pemulihan, namun bersifat dini dan rapuh. Beberapa indikator yang telah tumbuh positif atau mengalami pelambatan kontraksi pada Juni, kembali memburuk pada Juli.

Salah satu indikator yang sembat disebutkan Sri untuk menggambarkan rapuhnya tren pemulihan ekonomi adalah Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 atau pajak karyawan. Pada Juni, jenis pajak ini sempat tumbuh positif 12,28 persen. Pembalikan terjadi pada Juli, ketika PPh karyawan mengalami kontraksi hingga minus 20,3 persen. "Ini adalah satu hal yang sangat harus diwaspadai," ujar Sri dalam paparan kinerja APBN secara virtual pada Selasa (25/8).

Begitupun dengan PPh badan yang kontraksi 45,55 persen pada akhir Juli. Padahal, pada Juni, tingkat kontraksinya sudah berada pada level 38 persen. Sri menuturkan, realisasi ini menggambarkan tekanan luar biasa yang masih dialami korporasi Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement