Jumat 11 Sep 2020 07:52 WIB

Ekonom: PMN Berpotensi Jadi Risiko Fiskal Tahun Depan

Urgensi tambahan PMN kepada perusahaan pelat merah harus dikaji lagi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri BUMN Erick Thohir (tengah) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7). Rapat tersebut membahas Review Penyertaan Modal Negara Tahun 2020 sesuai Perpres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan rincian anggaran pendapatan dan belanja negara TA 2020, Pandangan Poksi-poksi tentang PMN Tahun 2020, Pencairan Hutang Pemerintah kepada BUMN TA 2020 dan Dana talangan TA 2020 serta Tindaklanjut kesimpulan RDP Komisi VI dengan Mitra di Masa Sidang III dan IV TS 2019-2020.Prayogi/Republika.
Foto: Republika/Prayogi
Menteri BUMN Erick Thohir (tengah) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7). Rapat tersebut membahas Review Penyertaan Modal Negara Tahun 2020 sesuai Perpres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan rincian anggaran pendapatan dan belanja negara TA 2020, Pandangan Poksi-poksi tentang PMN Tahun 2020, Pencairan Hutang Pemerintah kepada BUMN TA 2020 dan Dana talangan TA 2020 serta Tindaklanjut kesimpulan RDP Komisi VI dengan Mitra di Masa Sidang III dan IV TS 2019-2020.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebutkan, Penyertaan Modal Negara (PMN) yang terlalu besar kepada BUMN dapat menjadi risiko fiskal pada tahun depan. Sebab, perusahaan pelat merah yang dituju tidak tepat sasaran, terutama di tengah kebutuhan peningkatan belanja negara untuk mengatasi Covid-19.

Andry menjelaskan, kekuatan APBN masih sangat terbatas pada masa pandemi. Program-program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), terutama dari sisi perlindungan sosial, masih membutuhkan alokasi anggaran yang besar. "Harusnya bisa dialokasikan ke pos ini," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (10/9).

Baca Juga

Salah satu BUMN yang disorot Andry adalah PT Kawasan Industri Wijaya Kusuma (KIW). Dalam Nota Keuangan RAPBN 2021, perusahaan pelat merah ini ‘disuntik’ PMN sebesar Rp 1 triliun untuk pengembangan kawasan industri Batang, Jawa Tengah guna mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam proyek ini, KIW juga bermitra dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

Bahkan, menurut Andry, Menteri BUMN Erick Thohir telah mengajukan tambahan PMN baru senilai Rp 500 miliar untuk KIW dalam rapat kerja dengan DPR pada pekan lalu. "Padahal lahannya menggunakan PTPN yang berarti harusnya bisa memaksimalkan dana dari PTPN," tuturnya.

Selain itu, ada PMN sebesar Rp 500 miliar kepada PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) untuk mengembangkan Kawasan Labuan Bajo. Andry mengatakan, nominal tersebut belum termasuk usulan tambahan baru senilai Rp 500 miliar.

Andry menyebutkan, urgensi PMN kepada perusahaan-perusahaan pelat merah ini harus dikaji kembali. Apakah semua BUMN memang membutuhkan suntikan dana sebesar itu dan bagaimana antisipasinya apabila mereka mengalami kendala finansial di tengah jalan hingga kegagalan keuangan.

Apabila tidak cermat memberikan PMN, Andry mengatakan, BUMN justru akan menjadi beban ke APBN. Sebab, ketika mereka menghadapi 'jalan buntu', mereka kerap kali meminta bantuan kepada pemerintah melalui PMN yang berasal dari kas negara. "Ini yang saya rasa, fiskal risiko yang harus diperhatikan," ujarnya.

Ketergantungan perusahaan pelat merah ke APBN harus dikurangi. Andry menekankan, BUMN harus melalui proses bisnis untuk menanggulangi potensi kerugian finansial mereka sendiri.

Di sisi lain, pemberian PMN juga harus melalui mekanisme pengawasan ketat, terutama dari DPR. Pasalnya, mereka bertugas ‘menggolkan’ usulan-usulan tambahan anggaran pemerintah, termasuk PMN ke BUMN terkait. "Jangan sampai kecolongan," tutur Andry.

Di sisi lain, Ekonom Indef Abra Talattov juga sempat menyebutkan, BUMN berpotensi menjadi beban pada keuangan negara apabila dilihat dari setorannya yang terus turun. Salah satu indikatornya terlihat dari rendahnya setoran dari hasil kekayaan negara dipisahkan (KND) yang masuk ke pos Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP).

Pada 2019, penerimaan PNBP dari KND mencapai Rp 80,72 triliun atau tumbuh 79,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi, pada 2020, BUMN hanya mampu menyetor Rp 65 triliun, yang berarti mengalami penyusutan 19,6 persen.

Pada tahun depan, pemerintah kembali memangkas prediksi PNBP dari KND 59,90 persen, yakni menjadi Rp 26,13 triliun. Abra mengatakan, tren ini mengkhawatirkan. "BUMN berpotensi menjadi parasit bagi APBN karena bukannya memberikan sumbangan berupa dividen yang meningkat, tapi dengan alasan Covid-19 justru (target) dividennya diturunkan," ujarnya saat Webinar Indef, Kamis (3/9).

Sedangkan, Abra mencatat, permintaan BUMN untuk suntikan modal negara terus bertambah. Pada 2020, pertumbuhannya mencapai Rp 3,6 triliun menjadi Rp 31,2 triliun, yang kembali naik menjadi Rp 37,4 triliun dalam Nota Keuangan RAPBN 2021. Kenaikan ini belum termasuk pengajuan Kementerian BUMN kepada DPR pekan lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement