Senin 05 Oct 2020 05:50 WIB

Kenaikan Rasio Utang Buat Pemerintah tak Leluasa Susun APBN

Kebijakan yang tak fleksibel terhadap belanja berpotensi ganggu stabilitas ekonomi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Karyawan menghitung uang pecahan 100 Dollar Amerika di salah satu gerai penukaran uang asing, di Jakarta, Selasa (29/9/2020). Berdasarkan data kurs referensi Bank Indonesia Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) hingga pukul 16.00 WIB nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat tipis ke posisi Rp 14.920 per dollar AS dibanding hari sebelumnya.
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Karyawan menghitung uang pecahan 100 Dollar Amerika di salah satu gerai penukaran uang asing, di Jakarta, Selasa (29/9/2020). Berdasarkan data kurs referensi Bank Indonesia Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) hingga pukul 16.00 WIB nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat tipis ke posisi Rp 14.920 per dollar AS dibanding hari sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Manilet mengatakan, tren pertumbuhan rasio utang hingga jangka menengah akan membuat pemerintah tidak leluasa dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama pos belanja. Apalagi dengan melihat rasio pajak yang diperkirakan terus semakin turun.

Karena ada pertimbangan rasio pajak yang rendah, Yusuf menuturkan, penerimaan tidak akan optimal dalam mendorong belanja pemerintah. "Terlebih, batas defisit anggaran juga sudah kembali ke ambang batas tiga persen pada 2023," ujarnya, ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/10).

Kebijakan yang tidak fleksibel terhadap belanja berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Sebab, Yusuf menyebutkan, belanja pemerintah merupakan alat untuk mendorong maupun menstimulus pertumbuhan ekonomi.

Secara umum, rasio utang yang berada pada kisaran 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih dalam kategori aman. Hal ini dengan mengacu pada konsensus internasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang menyebutkan, batas maksimal rasio utang adalah 60 persen terhadap PDB.

Hanya saja, Yusuf mengatakan, penambahan jumlah utang Indonesia juga perlu diperhatikan dari potensi kapasitas bayarnya. Rasio pajak terhadap PDB kita masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara peer. "Sedangkan, idealnya peningkatan rasio utang juga harus dibarengi dengan peningkatan rasio pajak," katanya.

Peningkatan rasio utang juga berpotensi memperbesar belanja bunga utang pemerintah. Padahal, Yusuf menuturkan, belanja bunga utang bersifat tidak produktif apabila dibandingkan komponen belanja pemerintah yang lain seperti belanja modal.

Belanja bunga utang memang tidak terlepas dari imbal hasil dari surat utang pemerintah. "Jadi jika rasio utang akan meningkat sampai 2024, hal ini patut diperhatikan," tutur Yusuf.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan, rasio utang sampai dengan 2024 tidak akan kurang dari 40 persen terhadap PDB. Level tertinggi diperkirakan terjadi pada 2022, yaitu pada kisaran 41,52-42,65 persen yang secara bertahap turun hingga mencapai 40,78-41,31 persen terhadap PDB pada 2024.

Proyeksi itu tergambar dalam paparan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu pada Webinar Tax Challenges and Reforms to Finance the Covid-19 Recovery and Beyond, Kamis (1/10). Rentang rasio utang itu menjadi bagian dari kerangka kerja fiskal jangka menengah Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement