Jumat 09 Oct 2020 15:51 WIB

Ratusan Massa Aksi yang Hilang Belum Teridentifikasi

Kontras menerima laporan ada 204 orang yang hilang atau belum teridentifikasi.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andi Nur Aminah
Ratusan demostran di Surabaya dan Malang yang ikut aksi masih hilang dan belum teridentifikasi. Foto, polisi menghalau pendemo dengan gas air mata saat unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di jalan Kertanegara, Malang, Jawa Timur (ilustrasi)
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Ratusan demostran di Surabaya dan Malang yang ikut aksi masih hilang dan belum teridentifikasi. Foto, polisi menghalau pendemo dengan gas air mata saat unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di jalan Kertanegara, Malang, Jawa Timur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sekjen Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andy Irfan menerima laporan adanya 204 orang yang hilang atau belum teridentifikasi saat mengikuti aksi menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law di Surabaya dan Malang. Andy pun menyatakan akan berkomunikasi dengan Polda Jatim dan siap memberikan pendampingan hukum secara gratis, bagi mereka yang diamankan.

"Sepanjang malam kemarin hingga kini ada 204 orang yang ditahan atau hilang atau belum teridentifikasi. Sebagian teridentifikasi di Polda dan Polres, sebagian belum teridentifikasi. Kami telah berkomuniksi dengan Polda. Kami akan lakukan upaya pendampingan hukum secara gratis," ujar Andy di Surabaya, Jumat (9/10).

Baca Juga

Andy mengaku, pihaknya telah mengirimkan tim pemantau lapangan di Malang dan Surabaya, saat aksi dilangsungkan pada Kamis (8/10). Khusus untuk aksi sejumlah masyarakat yang melakukan penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Menurut Andy, kerusuhan yang terjadi di beberapa titik di Surabaya dan Malang terjadi karena pendekatan polisi yang represif dan penggunaan kekuatan dalam merespons aksi masyarakat. Menurutnya, kekerasan akan mereda apabila polisi lebih menggunakan pendekatan persuasif dan memberi ruang yang luas bagi massa aksi.

"Adalah wajar masyarakat menolak Omnibus Law karena memang problematikanya dari awal hingga akhir penuh persoalan. DPR secara cepat mengesahkan RUU ini, ada banyak penolakan baik dari masyarakat, mahasiswa dan sebagainya," ujar Andy.

Menurut Andy, seharusnya aparat tidak kemudian membatasi ruang bicara yang menjadi hak masyarakat. pada umumnya, kata dia, semua elemen masyarakat mempunyai satu aspirasi, yakni menghendaki pemerintah daerah di mana mereka berada untuk ikut menolak RUU ini.  "Sehingga bisa disampaikan ke pemerintah pusat agar presiden mengeluarkan Perppu pembatalan UU Omnibus Law," kata Andy.

Sayangnya, lanjut Andy, baik di Surabaya maupun di Malang polisi melakukan pendekatan yang cukup represif. Sehingga memicu reaksi lebih keras. Bahkan sebagian besar massa teringat kembali dengan satu tahun di saat aksi Reformasi Dikorupsi. "Satu represitas yang berbalas meluasnya aksi tersebut, kami tidak berharap polisi melakukan pendekatan yang sama," kata dia. 

Andy menilai, massa yang ditangkap dan terlibat dengan aksi sepatutnya dilepaskan. Karena, mereka bukan kriminal. Andy mengatakan, mereka melakukan aksi karena itu bagian dari sikap atas pengesahan UU Omnibus Law.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement