Selasa 13 Oct 2020 23:22 WIB

Hadits Taat Pemerintah Meski Punggungmu Dicambuk Benarkah?  

Terdapat hadits yang disalahgunkan untuk taat buta pemerintah.

Red: Nashih Nashrullah
 Terdapat hadits yang disalahgunkan untuk taat buta pemerintah. Ilustrasi
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Terdapat hadits yang disalahgunkan untuk taat buta pemerintah. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri Junaidi Lc MA*

Adalah hak setiap orang untuk memilih sikap yang dinilainya tepat. Apalagi dalam kondisi seperti saat ini. Ada yang mengekspresikan kekecewaan terhadap pemerintah dan DPR dengan cara turun ke jalan. Ada yang menyuarakannya melalui media yang ada. Ada juga yang tidak bersuara, tapi di dalam doa ia selalu berharap agar perubahan ke arah yang lebih baik segera menjelma.   

Baca Juga

Sebaliknya, ada juga yang menentang aksi-aksi yang marak terjadi. Atau malah menyalahkan mereka yang melancarkan kritik pada waliyyul amri. Bahkan, ada yang berlindung di balik nash agama. Katanya, kalau tidak ada hadits fulan tentu kami pun akan berada di garis terdepan. Fatalnya lagi, ia menimpali semua itu dengan ucapan, “Hanya saja agama kami mengharamkannya…”. Seolah ada pesan terselubung bahwa mereka yang menyuarakan penolakan dengan cara turun ke jalan tidak lagi beragama.  

Saya tidak dalam posisi membicarakan benar atau salah cara yang ditempuh sebagian orang dalam menyuarakan aspirasi dengan turun ke jalan. Saya hanya ingin menyorot hadits yang dijadikan sebagai tameng terhadap sikap yang dipilihnya lalu ia mengatakan bahwa itulah agama.   

Perlu dicatat bahwa hadits yang dijadikan sebagai dasar dari sikap pasif itu telah dipotong dari konteks-nya. Potongan tersebut berbunyi:  

تسمع وتطيع للأمير، وإن ضرب ظهرك، وأخذ مالك، فاسمع وأطع (رواه مسلم رقم 1847) 

“Dengar dan patuh pada pemimpin. Meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetap dengar dan patuh.”  

Potongan ini adalah bagian paling akhir dari hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah bin al-Yaman رضي الله عنه yang cukup panjang. Dengan memotongnya dari matan hadits secara keseluruhan, bahkan dari konteksnya, lalu berfokus hanya pada bagian ini saja, sangat wajar jika kesimpulan yang dihasilkan menjadi pincang. Mari kita sorot hal ini lebih jauh. Perhatikan beberapa catatan penting berikut : 

Pertama, meskipun hadits ini ada di dalam Shahih Muslim, tapi beliau meriwayatkannya bukan sebagai ushul (hadits utama atau pokok), melainkan sebagai mutabi’ (pendukung dan penguat), sehingga kekuatannya tidak sama dengan hadits yang bersifat ushul.  

Kedua, hadits ini termasuk yang dikritik  Imam Daruquthni dalam kitabnya Ilzamat wa Tatabbu’. Beliau mengatakan bahwa hadits ini adalah mursal, karena rawinya dari kalangan tabi’in yang bernama Abu Sallam tidak pernah mendengar hadits dari Hudzaifah bin al-Yaman. 

Kesimpulan bahwa hadits ini mursal juga disetujui Imam Nawawi dalam Syarah-nya terhadap Shahih Muslim. Walaupun beliau tetap menilainya sebagai hadits sahih karena didukung jalur yang lain.  

Yang menarik, Syekh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy, seorang tokoh salafi terkemuka, juga mengatakan bahwa tambahan di akhir hadits itu adalah lemah. Ia berkata : 

فهذه الزيادة ضعيفة لأنها من هذه الطريق المنقطعة  “Tambahan ini lemah karena ia datang dari jalur yang terputus.” 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement