Rabu 14 Oct 2020 22:43 WIB

Kemenkominfo: Internet Paling Populer Sebarkan Hate Speech

Kebanyakan orang Indonesia masih berpikir bahwa internet itu adalah dunia maya.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ratna Puspita
Plt Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kemenkominfo RI Teguh Arfiyadi mengatakan, internet menjadi salah satu media paling populer yang digunakan untuk menyebarkan narasi yang berkaitan dengan ujaran kebencian (hate speech) (Ilustrasi Jaringan Internet)
Foto: Pixabay
Plt Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kemenkominfo RI Teguh Arfiyadi mengatakan, internet menjadi salah satu media paling populer yang digunakan untuk menyebarkan narasi yang berkaitan dengan ujaran kebencian (hate speech) (Ilustrasi Jaringan Internet)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kemenkominfo RI Teguh Arfiyadi mengatakan, internet menjadi salah satu media paling populer yang digunakan untuk menyebarkan narasi yang berkaitan dengan ujaran kebencian (hate speech). "Internet itu menjadi salah satu media paling populer yang digunakan untuk menyebarkan narasi-narasi yang berkaitan dengan hate speech, konflik beragama, politik identitas," ujar Teguh dalam diskusi virtual bertema "Konflik beragama dan politik identitas di Indonesia", Selasa (12/10). 

Alumni Pondok Pesantren Krapyak ini menjelaskan, kebanyakan orang Indonesia masih berpikir bahwa internet itu adalah dunia maya. Padahal, menurut dia, dalam KBBI dijelaskan, maya adalah hanya tampak ada, tetapi nyatanya tidak ada. 

Baca Juga

"Maya itu seolah ada tapi tidak ada, padahal faktanya cyberspace atau dunia internet itu bukan dunia maya dalam arti yang sesungguhnya," ucapnya. 

Menurut dia, terminologi cyberspace (ruang siber) pertama kali diperkenalkan oleh William Gibson dalam bukunya Neuromancer (1984). Menurut dia, dunia internet ini dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk menyebarkan narasi-narasi. 

"Karakter internet yang luas inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk membuat narasi-narasi yang diharapkan bisa tersebar dengan lebih cepat," kata Teguh. 

Teguh mengatakan, kecepatan sebaran informasi itu sendiri mengalahkan kecepatan cahaya. Sementara, menurut dia, dari sisi hukum selalu tertinggal dibandingkan perkembangan budaya dan teknologi sehingga hukum menjadi tidak akomodatif.

"Hukum yang tidak akomodatif inilah yang kemudian memicu orang untuk berpikir bahwa dia menajdi orang yang tidak mudah disentuh secara hukum ketika membuat sebuah tindak pidana di dunia internet," jelas Teguh. 

Dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, tambah dia, sebenarnya tidak begitu efektif. Faktor utamanya adalah karena jumlah pelakunya sangat banyak. 

Kendati demikian, menurut dia, sebenarnya dari segi konten, seperti konten hoaks, hate speech, konten konflik beragama, dan konten politik identitas tidak banyak di internet. "Tidak sampai satu juta orang yang membuat provokasi-provokasi yang terkait dengan politik identitas, tapi mereka sangat berisik sekali," tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement