Jumat 16 Oct 2020 04:00 WIB

China: AS Picu Ketidakstabilan di Tibet

China menegaskan, masalah Tibet adalah urusan dalam negeri China.

Red: Teguh Firmansyah
Protes pembebasan Tibet oleh sejumlah biksu aktivis
Foto: Corbis/AP
Protes pembebasan Tibet oleh sejumlah biksu aktivis

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON  -- China menuding Amerika Serikat berusaha memicu ketidakstabilan di Tibet. Ini setelah pemerintahan Presiden Donald Trump menunjuk seorang pejabat hak asasi manusia sebagai koordinator khusus untuk masalah-masalah Tibet.

"Masalah Tibet adalah urusan dalam negeri China yang tidak memungkinkan adanya campur tangan asing," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian, Kamis.

Baca Juga

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengumumkan pada Rabu (14/10) bahwa Asisten Menteri Luar Negeri untuk Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Perburuhan Robert Destro akan mengambil posisi tambahan sebagai koordinator khusus untuk masalah Tibet---jabatan yang telah kosong sejak dimulainya masa jabatan Presiden Trump pada 2017.

China secara konsisten menolak untuk berurusan dengan koordinator AS dan melihatnya sebagai campur tangan pada urusan dalam negerinya. "Penunjukan yang disebut koordinator untuk masalah-masalah Tibet merupakan manipulasi politik untuk mencampuri urusan dalam negeri China dan menciptakan ketidakstabilan diTibet. China dengan tegas menentang itu," kata Zhao dalam jumpa pers reguler.

Penunjukan tersebut dilakukan pada saat hubungan AS-China telah tenggelam ke titik terendah dalam beberapa dekade karena berbagai masalah, termasuk perdagangan, Taiwan, hak asasi manusia, Laut China Selatan, dan virus corona.

Destro "akan memimpin upaya AS untuk mempromosikan dialog antara Republik Rakyat China dan Dalai Lama atau perwakilannya; melindungi identitas agama, budaya, dan bahasa Tibet yang unik; serta mendesak agar hak asasi mereka dihormati," kata Pompeo dalam sebuah pernyataan.

China menguasai Tibet pada 1950 dalam apa yang digambarkannya sebagai "pembebasan damai" untuk membantu wilayah Himalaya yang terpencil itu meninggalkan masa lalu "feodalnya". "Orang-orang dari semua kelompok etnis di Tibet adalah bagian dari keluarga besar bangsa China, dan sejak pembebasan damai, Tibet telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang makmur," kata Zhao.

Setiap orang di Tibet menikmati kebebasan beragama dan hak-hak mereka dihormati sepenuhnya, tambahnya. Namun para kritikus, yang dipimpin oleh pemimpin spiritual yang diasingkan, Dalai Lama, mengatakan aturan Beijing sama dengan "genosida budaya."

Pada Juli, Pompeo mengatakan AS akan membatasi visa untuk beberapa pejabat China yang terlibat dalam memblokir akses diplomatik ke Tibet dan terlibat dalam "pelanggaran hak asasi manusia." Ia menambahkan bahwa Washington mendukung "otonomi yang bermakna" untuk Tibet.

Meski begitu, Trump yang tidak seperti pendahulunya Barack Obama, belum pernah bertemu Dalai Lama selama masa kepresidenannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement