Jumat 16 Oct 2020 18:11 WIB

Perjalanan Panjang Menegakkan Diagnosis Penyakit Langka

Menegakkan diagnosis penyakit langka di Indonesia bukanlah hal yang mudah.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Dokter anak yang menggunakan APD bertema kartun bersiap memeriksa pasien. Terbatasnya ketersediaan diagnostik penyakit langka yang terjangkau menjadi salah satu kendala yang membuat penegakkan diagnosis penyakit langka menjadi terhambat.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Dokter anak yang menggunakan APD bertema kartun bersiap memeriksa pasien. Terbatasnya ketersediaan diagnostik penyakit langka yang terjangkau menjadi salah satu kendala yang membuat penegakkan diagnosis penyakit langka menjadi terhambat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini tercatat ada 7.000-8.000 jenis penyakit langka. Sekitar 250 jenis penyakit langka baru teridentifikasi setiap tahunnya. Dengan jenis yang sangat beragam dan adanya beragam keterbatasan, penegakkan diagnosis penyakit langka bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.

Tiap negara memiliki definisi berbeda untuk penyakit langka. Di Indonesia, suatu penyakit tergolong sebagai penyakit langka bila jumlah kasusnya belum sampai 2.000 kasus.

Baca Juga

Sekitar lima persen dari seluruh jenis penyakit langka sudah ada obatnya. Obat untuk penyakit langka bisa berupa obat (orphan drugs) atau makanan (orphan food). Untuk bisa memberikan obat ini kepada pasien, diagnosis harus ditegakkan terlebih dahulu.

"Tatalaksana yang tepat bisa dilakuakn setelah pasien bisa terdiagnosis," jelas Ketua Layanan Terpadu Pusat Penyakit Langka RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Prof Dr dr Damayanti R Sjarif SpA(K) PhD dalam webinar #CareForRare yang diselenggarakan Yayasan MPS & Penyakit Langka, Ahad (11/10).

Yang menjadi kendala, menegakkan diagnosis penyakit langka di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Terbatasnya ketersediaan diagnostik penyakit langka yang terjangkau menjadi salah satu kendala yang membuat proses ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang tak sedikit. Tak jarang Prof Damayanti harus mengandalkan koneksinya di berbagai negara untuk mendapatkan bantuan pemeriksaan.

Untuk memberikan gambaran, Prof Damayanti mencontohkan kasus bayi G yang lahir dengan penyakit langka pada November 2019. Bayi G dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) ketika masih berusia tujuh hari.

Saat itu, kondisi bayi G kuning, mengalami pembesaran hati, dan hemokromatosis atau kelebihan zat besi dengan kadar zat besi mencapai 2000 mcg/L. Kadar zat besi yang sangat tinggi bisa menyebabkan keruskan jantung, hati, dan berbagai kerusakan lain bila dibiarkan.

Transfusi darah sempat dilakukan untuk menurunkan kadar zat besi pada bayi G. Namun, setiap kali diberikan ASI, kondisi bayi G kembali memburuk dan kadar zat besinya kembali meningkat.

Kecurigaan mengarah pada kelainan genetik setelah Prof Damayanti mengetahui bahwa dua kakak bayi G juga mengalami gejala yang sama. Akan tetapi, keduanya telah meninggal dunia setelah beberapa hari dilahirkan.

"Gejalanya juga sama. Kuning, perutnya membuncit, semua disangkanya adalah sepsis," jelas Prof Damayanti.

Melihat adanya kemungkinan kelainan metabolisme bawaan, Prof Damayanti memutuskan untuk melakukan skrining profil asam amino dan acylcarnitin. Ironisnya, pemeriksaan sederhana ini belum tersedia di dalam negeri sehingga harus dilakukan di Malaysia.

Diperlukan waktu hingga dua pekan untuk menunggu hasil skrining ini keluar. Padahal, bila fasilitas yang sama tersedia di dalam negeri, hasil pemeriksaan mungkin bisa keluar hanya dalam waktu satu hari.

Hasil skrining tersebut menunjukkan hasil yang normal. Akan tetapi, jelas terlihat bahwa bayi G memiliki kelainan genetik dan hemakromatosis yang diderita bukan hemakromatosis biasa. Oleh karena itu, Prof Damayanti memutuskan untuk melakukan pemeriksaan genetik melalui analisis DNA.

Pemeriksaan ini dilakukan di Jerman dengan biaya sekitar Rp 13 juta. Dibutuhkan waktu satu bulan untuk menunggu hasil pemeriksaan ini keluar. Dari pemeriksaan inilah baru diketahui bahwa bayi G menderita penyakit langka bernama galaktosemia.

Penderita galaktosemia tidak memiliki enzim galaktosa-1-fosfat uridylyltransferase (GALT). Ketika penderita galaktosemia mendapatkan asupan gula dari susu, akan terjadi penumpukan galaktosa.

Penumpukan ini bisa menyebabkan kerusakan di hati, sehingga tubuh penderitanya menjadi kuning. Selain itu, penumpukan tersebut juga dapat membuat kadar ferritin menjadi tinggi yang bila dibiarkan dapat merusak mata, otak, serta ginjal.

"Ini adalah kasus (galaktosemia) pertama yang didiagnosis di Indonesia," ungkap Prof Damayanti.

Setelah mendapatkan diagnosis yang tepat, bayi G mendapatkan terapi pengobatan yang sesuai. Kini, kondisi bayi G sudah membaik dan diperbolehkan pulang ke NTT.

Kasus bayi G merupakan satu dari banyak kasus penyakit langka di Indonesia yang harus melalui proses panjang untuk bisa ditegakkan diagnosisnya. Ada banyak perjuangan yang harus dilalui Prof Damayanti dan tim dokter lainnya untuk bisa menegakkan diagnosis penyakit langka.

Saat ini, Prof Damayanti mengatakan RSCM dan Human Genetic Research Cluster IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesa telah menjalin kerjasama dengan banyak laboratorium dan rumah sakit di berbagai negara, termasuk Australia dan Taiwan. Akan tetapi, dia berharap di masa depan Indonesia dapat menegakkan diagnosis penyakit langka secara mandiri melalui pengembangan laboratorium.

"Cita-cita kami paling tidak bisa (menegakkan) diagnosis sendiri di Indonesia," kata Prof Damayanti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement