Kamis 29 Oct 2020 17:13 WIB

Rangkaian Peristiwa Sebelum Pendeta Yeremia Ditemukan Tewas

Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya merilis temuan terkait kematian Pendeta Yeremia.

Red: Andri Saubani
Pdt Yeremia Zanambani
Foto: Istimewa
Pdt Yeremia Zanambani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro

Sejak Oktober 2019, aktivitas aparat keamanan di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua, meningkat. Diawali dari kontak tembak dengan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB), aparat keamanan dari Sugapa, Intan Jaya, Papua, kemudian turun ke Hitadipa yang belasan kilometer jaraknya.

Baca Juga

Aparat kala itu meminta tanah kepada masyarakat adat setempat untuk dijadikan bangunan markas Komando Rayon Militer (Koramil) di Distrik Hitadipa. Masyarakat kemudian menyatakan bersedia menyerahkan tanah adat yang posisinya berada diatas bukit bernama Umbuapa, tetapi tanah tersebut tidak diambil oleh TNI.

TNI justru menggunakan sekolah satu atap untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) sebagai markas kegiatan mereka di desa tersebut. Sekolah yang biasa digunakan oleh 300 orang siswa yang berasal dari kampung-kampung sekitar itu masih digunakan sebagai markas Koramil hingga saat ini.

Keberadaan aparat keamanan di Hitadipa tidak meredakan kontak tembak yang terjadi antara aparat keamanan dengan KKSB. Berdasarkan temuan Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya Papua yang diketuai Haris Azhar, masyarakat setempat dalam kesaksian-kesaksiannya mengaku kontak tembak terjadi beberapa kali, termasuk pada 17 hingga 19 September 2020 lalu.

"Sejumlah saksi mengatakan mereka melihat tembak-tembakan itu berlangung sampai berjam-jam, ada di peristiwa pada 17 dan 19 (September) itu lebih dari dua jam dan ada dua korban dari pihak TNI juga yang meninggal dan terluka dan senjatanya dirampas oleh pihak musuh dari TNI," ungkap Haris dalam konferensi pers daring, Kamis (29/10).

Dari rangkaian kontak tembak yang terjadi itu didapati kabar meninggalnya Pendeta Yeremia Zanambani. Atas dasar itulah tim yang terdiri dari sejumlah tokoh agama, akademisi, dan aktivis kemanusiaan di Papua ini bekerja di Hitadipa. Mereka hendak merespons situasi kekerasan yang terjadi pada Pendeta Yeremia.

Pendeta Yeremia dikenal sebagai sosok yang tegas dan dihormati di lingkungannya. Dia sempat ikut terlibat dalam pencarian informasi terkait hilangnya dua orang masyarakat di Sugapa, setelah aparat melakukan pemeriksaan terkait Covid-19 pada April 2020 lalu. Hingga saat ini, belum ada kabar tentang kedua orang yang terakhir diketahui dibawa ke markas Koramil Sugapa itu.

Haris menerangkan, ada serangkaian peristiwa sebelum Pendeta Yeremia meninggal dunia di kandang babi miliknya pada 19 September 2020. Bermula pada 17 September 2020 siang sekitar pukul 12.00 WIT, saat terjadi penembakan ke rombongan TNI di Sugapa Lama, Intan Jaya, Papua.

"Mengakibatkan satu orang anggota meninggal dan satu laras panjang milik TNI diambil oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pascapenyerangan tersebut justru masyarakat Hitadipa yang dipanggil satu per satu meskipun tidak semuanya," jelas Haris.

Aparat keamanan memberi tahu permintaan mereka kepada masyarakat yang dipanggil itu, yakni agar senjata yang hilang diambil oleh KKSB lekas dikembalikan. Aparat juga meminta agar para gembala pendeta mengutus serta mengumumkan hal itu ke kampung lain yang ada di Distrik Hitadipa. Pesan itu diiringi dengan ancaman pengeboman terhadap Distrik Hitadipa.

"Pesan tersebut juga diiringi dengan ancaman bahwa kalau tidak dikembalikan distrik di Hitadipa akan dibom. Praktik ini terus terjadi, yaitu meminta dan ancaman tersebut pada keesokan harinya pada 18 September," terang mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu.

Sehari kemudian, pada 19 September pukul 09.00 WIT, masyarakat dikumpulkan oleh anggota TNI di lapangan yang berada di depan kantor Koramil yang dipimpin langsung oleh Komandan Koramilnya. Masyarakat diberitahukan, mereka diberi waktu dua hari untuk mengembalikan senjata yang dirampas pada 17 September.

"Jika tidak dikembalikan dalam dua hari maka akan dilakukan operasi penumpasan ke warga. Lebih lanjut memerintahkan kepada dua orang pemuda untuk mencari Melianus Wandagau, kepala suku Moni di Sugapa Lama, lokasi perampasan senjata," jelas dia.

Siang harinya, masyarakat kembali dikumpulkan di depan Gereja Imanuel I oleh anggota TNI dari Koramil Hitadipa bernama Alpius. Saat pengumpulan itu, Alpius menyatakan sejumlah hal, yang salah satunya soal sejumlah orang di Hitadipa yang menjadi musuh, lawan, dan berperang dengannya. Salah satu nama yang ia sebutkan kala itu ialah Pendeta Yeremia.

Pernyataan Alpius membuat semua ibu-ibu dan bapak-bapak yang ada dalam situasi tersebut, termasuk pendeta dan gembala, menangis. Alpius bukan sosok asing bagi masyarakat setempat. Dia sering berkunjung datang ke rumah-rumah warga dalam berkegiatan.

Alpius disebut pernah menumpang mandi di kamar mandi milik Pendeta Yeremia. Dia juga kerap berkumpul dan bermain dengan warga di sekitar sekolah yang menjadi markasnya. Bahkan, akibat kerap mengikuti ibadah bersama, dia diberi nama satu marga lokal oleh masyarakat setempat.

Sekira pukul 13.00 WIT, kontak tembak kembali terjadi antara aparat keamanan dengan KKSB. KKSB melakukan penembakan dari arah Utara markas Koramil Persiapan Hitadipa, disebut demikian karena belum ada nomor. Dari kontak tembak itu, satu personel bawah komando operasi (BKO) meninggal dunia.

"Beberapa menit kemudian, masih di pukul 13.00 WIT hampir pukul 14.00 WIT, pihak TNI melakukan penembakan balasan ke bagian Utara kampung Hitadipa daerah Muara Sungai Hiyabu dan Sungai Dogabu selama kurang lebih 30 menit," jelas Haris.

Sebelum kontak tembak itu terjadi, Pendeta Yeremia dan istrinya, Meriam Zanambani, sedang mengurus kebun dan ternaknya sejak pagi. Ketika kontak tembak terjadi, mereka masuk ke dalam kandang babi, lokasi yang nantinya menjadi tempat Pendeta Yeremia meninggal dunia.

"Sebagiamana SOP yang pernah diajarkan anggota TNI kepada masyarakat, agar ketika mendengar tembakan masuk ke dalam rumah. Karena waktu itu yang dekat dengan mereka adalah kandang babi, akhirnya mereka masuk ke kandang babi," kata Haris.

Hingga mendekati pukul 15.00 WIT, Meriam keluar dari kandang babi untuk berjalan pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan, dia bertemu dengan rombongan anggota TNI yang ia sebut barisannya mencapai sepanjang 50-60 meter. Dalam keterangan saksi lainnya, Haris mendapatkan angka kalkulasi sekitar lebih dari 75 orang aparat keamanan yang berjalan saat itu.

"Mama Meriam itu terkejut dan takut, di laporan kami tidak tulis tetapi dia bersaksi kepada kami dia sampai, mohon maaf, sampai terkencing dalam jalannya tersebut," ungkap Haris.

Saat berpapasan dengan rombongan TNI itu, Meriam melihat sosok yang tak asing baginya, yakni Alpius. Keduanya saling tatap sebelum kemudian keluar tiga pertanyaan dari mulut Alpius yang ditujukan kepada Meriam.

"'Apakah Mama lihat orang di sini?' Mama bilang tidak. 'Apakah mama lihat orang jalan di sini?' Mama jawab tidak dan Mama bilang, saya cuma tahu ada bapak di kebun, di kandang babi. Jadi Alpius bertanya, 'Bapak ada di kandang babi?' Dijawab oleh Mama, iya," tutur Haris.

Sekira 20 menit kemudian anggota TNI dengan atribut lengkap sampai di kampung Taundugu. Ada yang berjaga di jalan, ada juga yang turun ke kampung Taundugu dan langsung membakar rumah dinas tenaga kesehatan di Hitadipa dengan alasan ada anggota KKSB di balik bangunan itu.

Setelah pembakaran tersebut, sekitar pukul 15.30 WIT, empat anggota TNI menuju kandang babi milik Pendeta Yeremia. Menurut Haris, dua orang berdiri sekitar 24 meter dari Jalan Induk Kabupaten Intan Jaya, sedangkan dua anggota lainnya, salah satunya Alpius, langsung menuju bangunan kandang babi.

"Ada proses dialog sebelum dieksekusi, yaitu diminta angkat tangan. Lalu dijawab sambil angkat tangan oleh Pendeta, 'Saya adalah hamba Tuhan,'" kata Haris.

Namun, yang kemudian terjadi adalah kedua anggota TNI itu tetap menembak. Berdasarkan data yang ia miliki, Pendeta Yeremia terluka di tangan sebelah kiri. Lukanya itu ia sebut tidak hanya bekas peluru, tapi juga ada semacam luka lainnya.

Ketika sore hari, karena Pendeta Yeremia belum pulang ke rumah dan melihat dari rumahnya pintu kandang babi belum tertutup, Meriam pada akhirnya memberanikan diri untuk datang mengecek kondisi Pendeta Yeremia zanambani. Ketika masuk ke dalam, Meriam mendapati kondisi suaminya sudah terjatuh di lantai kayu dengan keadaan kondisi berlumuran darah.

"Tetapi Pendeta Yeremia masih berkomunikasi dan dalam komunikasi itu kesaksian dari Pak Pendeta kepada Mama Meriam, 'Ini akibat dari orang yang kita kasih makan.' Artinya si Alpius," jelas Haris.

Melihat itu, Meriam meminta bantuan orang yang ada di sekitar tempat kejadian, yakni dua orang ibu-ibu. Meriam meminta keduanya untuk menjaga sementara suaminya sementara dia mencari bantuan ke masyarakat. Namun, saat itu masyarakat sedang berkumpul di sejumlah rumah dalam keadaan takut tak berani keluar.

"Dan ketika Mama datang ke salah satu rumah, yaitu rumah Pak Yusak, mereka semua belum berani keluar malam itu dan meminta Mama tetap bersama mereka," kata dia.

Haris menerangkan, dari saksi yang menemani Pendeta Yeremia didapatkan keterangan, sang pendeta mengeembuskan napas terakhirnya pada tengah malam sekitar pukul 00.00 WIT. Sebelum meninggal dunia, kedua ibu-ibu itu bersama dengan Pendeta Yeremia sempat melakukan kegiatan berdoa.

Sebelumnya, pihak TNI menyatakan tak akan menutupi perilaku oknum aparat yang jelas-jelas melanggar hukum. Proses hukum terhadap terduga oknum aparat disebut mudah diikuti oleh semua pihak karena organisasinya jelas, berbeda dengan jika pelakunya adalah KKSB.

"TNI tidak akan menutupi perilaku oknum aparat yang jelas-jelas melanggar hukum, aturan dan perintah-perintah dinas, karena ini merupakan komitmen pimpinan TNI untuk menjadikan TNI sebagai institusi yang taat hukum," ujar Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kolonel Czi IGN Suriastawa, saat dikonfirmasi, Rabu (21/10).

Suriastawa mengatakan, proses hukum terhadap terduga oknum aparat mudah diikuti oleh semua pihak karena organisasi TNI ataupin Polri sangat jelas. Identitas personel, kesatuannya, dan komandonya jelas. Bahkan, bila dilaksanakan persidangan terhadap terduga oknum aparat juga jelas mekanismenya.

Dia justru menanyakan, bagaimana jika pelakunya adalah KKSB karena tidak jelas pelakunya, organisasinya, dan lain-lain. Apalagi, kata dia, sesaat setelah penembakan terhadap Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya KKSB mengaku bertanggung jawab sekaligus menolak keberadaan TGPF berikut hasilnya.

"Kita semua harus mendukung proses pro justicia yang akan dilakukan oleh pemerintah, demi keamanan di Papua," ungkap Suriastawa.

Suriastawa juga menyatakan, seluruh pihak wajib menghormati hasil temuan TGPF Intan Jaya yang telah bekerja dengan maksimal. Terkait dugaan keterlibatan oknum aparat, Suriastawa menyatakan, TNI sangat menjunjung tinggi proses hukum sebagai tindak lanjut dari proses ini.

photo
Tiga kekalahan jokowi atas gugatan rakyat - (Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement