Jumat 06 Nov 2020 11:00 WIB

Yusril: Wajar Presiden tidak Baca yang Ditandatangani

Yusril menceritakan, Presiden Soeharto juga pernah meneken sebuah UU tanpa dibaca.

Red: Erik Purnama Putra
Pakar tata negara Profesor Yusril Ihza Mahendra.
Foto: Republika/Prayogi
Pakar tata negara Profesor Yusril Ihza Mahendra.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) periode 2004-2007, Yusril Ihza Mahendra, menganggap wajar seorang presiden tidak membaca apa yang ditandatanganinya, termasuk dalam meneken sebuah rancangan undang-undang (RUU) agar berlaku menjadi UU baru. Dia pun mengingat kala masih menjadi asisten Mensesneg Moerdiono kala pemerintahan Presiden Soeharto.

Yusril yang dikenal sebagai pakar hukum tata negara sudah bekerja di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) sejak 1992. Meski begitu, Yusril mengakui, pada era Soeharto tidak pernah ada UU yang sudah disahkan menjadi bermasalah akibat lolos dari koreksi orang Kemensetneg.

"Saya datang ke rumah Pak Harto. Saya mengatakan, Pak ini yang mau ditandatangani, ini begini. 'Ril, ini surat isinya apa?' Lalu saya terangkan. 'Sudah bener isinya?' Sudah Pak. 'Itu Moerdiono sudah paham?' Sudah Pak. Itu sudah ada. 'Gak salah lagi?' Ndak Pak. 'Ya sudah, sini saya teken,'" kata Yusril menceritakan pengalaman bertemu Soeharto ketika meneken sebuah RUU menjadi UU dalam perbincangan dengan Rahma Sarita bertema "I Don't Read What I Sign, Itu Hal yang Biasa!!" di akun Youtube Realita TV, dikutip Republika, Jumat (6/11).

Yusril pun berkesimpulan seorang presiden tidak harus membaca dulu dokumen yang akan ditandatangani. "(Presiden Soeharto) baca aja enggak, tapi kepercayaan itu membuat saya ngeri. Saya pikir, lho beliau ini percaya sekali sama saya. Kalau sekali saja saya salah, sekali saja berkhianat, habis saya. Dan alhamudlillah sampai Pak Harto meninggal. Alhamdulillah saya tak pernah melakukan kesalahan apa pun pada beliau," ucap Yusril.

Menurut Yusril, modal kepercayaan itulah yang terpenting dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal yang sama juga harusnya berlaku di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)- Ma'ruf Amin, yang didukung menteri dari berbagai parpol.

"Walaupun itu dari partai-partai yang berbeda masuk dalam  pemerintahan. Tapi ketika masuk dalam pemerintahan harus merasa satu. Harus saling menjaga, harus saling melindungi satu dengan yang lain," kata mantan menkumham tersebut.

Terkait dengan pengesahan UU Cipta Kerja yang bermasalah, termasuk bunyi Pasal 6, Yusril menganggap bukan semata kesalahan Mensesneg Pratikno. Apalagi, selama ini, Pratikno merupakan orang kepercayaan Presiden Jokowi karena keduanya sama-sama berasal dari UGM. "Kalau Pak Pratik saya percaya beliau, beliau bukan orang partai, orang profesional dan mungkin dari dulu sudah sahabat dengan Pak Jokowi itu saling menjaga kepercayaan."

Yusril menambahkan, "Praktik i dont read what I sign wajar, tidak mungkin presiden membaca undang-undang sebegitu banyak untuk disahkan menjadi undang-undang, karena memang kalau dibaca pun bukan ilmunya. Sama kayak saya pergi ke dokter, harus dioperasi prosedur begini harus tanda tangan, saya baca tidak paham-paham," kata Yusril memberi perumpamaan.

Dia juga mengenang ketika menjadi asisten mantan perdana menteri Mohammad Natsir (17 Juli 1908-6 Februari 1993), yang dikenal sebagai tokoh Masyumi. Menurut dia, pernah dalam suatu ketika Natsir buru-buru tanda tangan di kertas, dan malah isi suratnya ditik kemudian. Belajar dari hal itu, Yusril tidak masalah jika Jokowi tak membaca UU yang ditandatanganinya.

"Kalau presiden tidak baca apa yang ditandatangai itu bisa saja terjadi. Bahkan saya pernah dengan Pak Natsir walaupun bukan pejabat lagi, itu saking buru-burunya 'Yusril ambil kertas kamu teken, nanti saya ketik isinya'. Bayangkan itu ga ada isinya, diteken surat itu ditujukan kepada Tengku Abdulrahman, Bapak Pendiri Negara Malaysia, pada waktu itu kira-kira tahun 80-an."

Sebelumnya, Mensesneg Pratikno menyebut, sejumlah kesalahan yang ditemukan di dalam UU Cipta Kerja merupakan masalah teknis administratif. Sehingga, kesalahan teknis tersebut tak akan berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.

“Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” ujar Pratikno kepada wartawan, Selasa (3/11).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement