Senin 09 Nov 2020 06:24 WIB

Berharap Vaksin, Apakah Kita Hanya Sedang Menunggu Godot?

Bagaimana jika ternyata vaksin Covid-19 tidak akan hadir dalam waktu dekat?

Red: Andri Saubani
Produksi vaksin Covid-19. Ilustrasi
Foto: AP Photo / Ng Han Guan
Produksi vaksin Covid-19. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Saat banyak negara lain di dunia tengah menghadapi gelombang kedua infeksi Covid-19, Indonesia justru masih terus berjuang untuk selesai dari gelombang pertama pandemi. Setelah delapan bulan sejak kasus pertama ditemukan di Depok, Jawa Barat, pada Maret lalu, total kasus positif hingga kini berjumlah 430 ribuan kasus dengan rata-rata puncak penambahan kasus baru Covid-19 setiap harinya berada pada angka 3.000 sampai 4.000-an kasus per hari.

Persentase kasus aktif sebesar 12,7 persen dan angka kesembuhan 84 persen Indonesia saat ini memang sudah berada di atas angka rata-rata dunia. Namun, sisi negatifnya, persentase angka kematian Indonesia sebesar 3,4 persen masih lebih tinggi dari angka rata-rata dunia.

Statistik angka hasil dari penanganan Covid-19 yang bisa dibilang naik-turun sejurus dengan ketidakpastian kapan pandemi ini akan berakhir. Hampir semua sektor kehidupan terdampak, mulai dari ekonomi, sosial, politik, kesenian, olahraga, dan lainnya terpuruk meski belakangan satu per satu mulai bergeliat bangkit sesuai dengan kemampuan adaptasinya masing-masing.

Vaksin Covid-19 saat ini menjadi harapan terbesar pemerintah untuk menuntaskan ketidakpastian itu. Namun, masalahnya, proses penciptaan vaksin oleh beberapa produsen farmasi besar di dunia pun masih diliputi ketidakpastian.

Pernyataan mantan jubir Gugus Tugas Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, kepada salah satu media belum lama ini soal batalnya sebagian besar komitmen antara pemerintah dan beberapa produsen farmasi besar di dunia membuka tabir bahwa para produsen itu sendiri belum bisa memastikan kapan vaksin Covid-19 akan hadir. Tinggal Sinovac, perusahaan farmasi asal China, dengan komitmen awal tiga juta vaksinnya untuk Indonesia yang saat ini menjadi satu-satunya harapan.

Uji klinis fase tiga atau tahap akhir vaksin Sinovac sebenarnya juga masih belum pasti kapan akan rampung dan bisa mendapatkan izin edar darurat (UEA) dari otoritas yang berwenang. Di tengah semua ketidakpastian itu, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, pekan ini, sudah berani memprediksi, vaksin Covid-19 di Indonesia kemungkinan akan hadir pada Desember 2020. Luhut menyebut, angka sembilan juta orang sebagai proyeksi awal yang akan disuntik vaksin Covid-19.

Kritik atas transparansi

Transparansi soal pengadaan vaksin termasuk proses uji klinisnya menjadi yang dikritisi oleh sebagian kalangan khususnya dari kalangan ahli dan kedokteran. Seorang dokter dan peneliti, Yohanes Cakrapradipta Wibowo, sampai menginisiasi petisi menolak jutaan vaksin ‘setengah jadi’ yang saat ini tengah diproyeksikan untuk diimpor oleh pemerintah.

Argumentasi penolakan dari Yohanes berdasar pada, sampai saat ini, belum ada satupun vaksin Covid-19 di dunia yang mendapat izin atau rekomendasi dari otoritas Badan Kesehatan Dunia (WHO) meski beberapa produsen termasuk Sinovac telah mengeklaim vaksinnya telah masuk uji klinis tahap tiga. Alasan pembenaran dengan menerapkan Emergency Use Authorization (EUA), menurut Yohanes, juga berpotensi memunculkan masalah di kemudian hari.

Sebagai contoh pembanding, penerapan UEA oleh pemerintah Donald Trump di Amerika Serikat (AS) untuk obat hidroksiklorokuin terbukti kemudian bermasalah. Riset terbaru (solidarity trial) menunjukkan, hidroksiklorokuin ternyata tidak bermanfaat dan Trump diduga menggunakan UEA untuk kepentingan politiknya. Kasus hidroksiklorokuin itu dinilai bisa terjadi pada vaksin ‘setengah jadi’ Covid-19.

Uji klinis tahap tiga terhadap vaksin produksi Sinovac terhadap 1.620 relawan di Indonesia setidaknya sudah berjalan tiga bulan dari proyek enam bulan masa uji. Namun, seperti yang dikritisi oleh Yohanes lewat petisinya, publik sejauh ini tidak disajikan informasi yang jelas dan terperinci terkait progres uji klinis tersebut.

Pernyataan yang dirilis oleh tim uji klinis yang berpusat di Bandung selalu sebatas ‘so far so good’ tanpa didampingi oleh data perkembangan efektivitas vaksin yang telah disuntikkan kepada para relawan. Padahal, sebagai tahap yang paling menentukan dalam sebuah proses penciptaan vaksin, uji klinis tahap tiga mestinya dijadikan alat oleh pemerintah untuk meraih kepercayaan dari masyarakat bahwa vaksin Sinovac adalah vaksin yang aman.

Akan menjadi masalah baru di kemudian hari jika ternyata, vaksin Covid-19 produksi Sinovac yang telah lulus uji klinis dan mendapatkan izin edar dari BPOM malah tidak dipercaya keamanannya oleh masyarakat. Masalah baru itu muncul akibat kurang baiknya komunikasi publik pemerintah terkait vaksin dan minimnya transparansi atas pengadaan vaksin tersebut.

Jangan bergantung vaksin

Cara Vietnam dalam memerangi pandemi Covid-19 telah menjadi cerita sukses mengglobal di mana mereka hanya mencatatkan 1.210 kasus virus corona dan 35 kematian. Selama lebih dari dua bulan terakhir, tak ada penularan komunitas yang dilaporkan di negara tersebut.

Kesuksesan itu buah dari usaha berbulan-bulan Vietnam melakukan pengujian massal Covid-19 secara agresif, menjalankan karantina terpusat dengan melibatkan militer, dan menutup perbatasan lebih dini. Efektivitas penanganan pandemi telah menempatkan ekonomi Vietnam saat ini berada di jalur untuk pulih lebih cepat daripada negara-negara lain.

Vietnam kini bahkan tak mau bergantung pada vaksin untuk menangani pandemi Covid-19. Alasannya, mereka sadar, pengadaan vaksin membutuhkan anggaran awal yang sangat besar hanya digunakan untuk uang muka kepada produsen farmasi tanpa mengetahui efektivitas vaksin tersebut. Dengan strategi yang diterapkan saat ini, Vietnam menyatakan siap memerangi Covid-19 sampai akhir 2021 tanpa vaksin.

Perspektif Vietnam terhadap vaksin Covid-19 bisa menjadi acuan pertimbangan ihwal betapa besar bahaya jika dunia hanya bergantung pada kehadiran vaksin. Saat jamaknya vaksin ditemukan lewat suatu riset dan proses penciptaan yang memakan waktu sangat panjang, vaksin Covid-19 diproyeksikan hadir dalam tempo singkat. Ujung dari tempo yang singkat itu pun belum tentu berakhir pada hadirnya vaksin Covid-19 yang memang terbukti mampu menangkal Covid-19 dan aman tanpa efek samping.

Akan sangat berbahaya jika kita terlalu bergantung pada vaksin tanpa dibarengi kontinuitas dan penguatan strategi perang terhadap pandemi (strategi 3M dan 3T), karena jangan-jangan kita saat ini sebenarnya berada pada masa seperti episode drama dua babak ‘Menunggu Godot’ karya Samuel Beckett. Drama absurd dengan hanya menampilkan lima aktor itu berkisah tentang Estragon dan Vladimir yang sedang menantikan kedatangan Godot, tokoh utama tapi justru berplot tidak pernah muncul sepanjang cerita.

Dalam interpretasi umum karya Beckett itu, menunggu Godot bisa diartikan sebagai tindakan kesia-siaan. Menunggu sesuatu yang tak kunjung datang akibat dari ketidakmampuan dalam membaca situasi atau keadaan. 

*penulis adalah Jurnalis Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement