Selasa 10 Nov 2020 04:40 WIB

Jangan Ragu Boikot Produk Penista Nabi, Ini Deretan Dalilnya

Banyak dalil dari Alquran dan hadits menguatkan boikot ekonomi

Red: Nashih Nashrullah
Warga berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/11/2020). Aksi Solidaritas Bela Rasulullah SAW itu menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk asal Prancis dan mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Warga berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/11/2020). Aksi Solidaritas Bela Rasulullah SAW itu menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk asal Prancis dan mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Oleh : Kepala LPMQ Kemenag dan Sekjen OIAA, KH Dr Muchlis M Hanafi

REPUBLIKA.CO.ID, Di masa perang atau konflik bersenjata banyak negara menggunakan senjata ekonomi untuk menekan lawan. 

Antara lain dengan melakukan aksi boikot tidak menjual dan atau membeli barang negara atau pihak yang diboikot. 

Baca Juga

Tentu saja, dalam situasi konflik upaya melumpuhkan musuh dapat dibenarkan secara logika.  

Dalam kitab-kitab fiqih para ulama membahas hukum berdagang dengan pihak musuh. Mayoritas ulama membolehkan kecuali senjata atau lainnya yang dapat disalahgunakan untuk menyerang balik. Pada dasarnya, hukum boikot diperbolehkan dalam agama.

Tetapi hukumnya bisa beragam, tergantung sejauh mana pengaruh dan efektivitasnya. Bila berdampak membahayakan dan merugikan kaum Muslim maka hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram.  Tetapi bila memberi pengaruh besar melemahkan negara atau pihak yang menyerang maka hukumnya bisa menjadi wajib atau dibolehkan. 

Argumen aksi boikot bisa ditemukan dalam Alquran dan sunnah, antara lain yang pertama firman Allah:

‎ فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ 

Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian ….” (QS at-Taubah: 5).

Imam al-Thabari menafsirkan kata wahshurûhum (kepunglah) dengan mencegah mereka melakukan transaksi di negeri Muslim (Tafsir al-Thabari, 14/134). Termasuk di dalamnya segala bentuk pengepungan, baik ekonomi maupun militer. Kedua, firman Allah SWT:

‎ وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ   

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (QS at-Taubah: 60).

Kalimat ‘mastatha`tum min quwwah’ ditafsrikan Abu al-Su`ud dengan segala apa yang menjadikan kuat dalam perang, apa pun bentuknya (Irsyâd al-Aql al-Salîm, 4/32).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement