Rabu 18 Nov 2020 18:46 WIB

Korindo Bantah Bakar Hutan Papua

Pembukaan lahan dilakukan secara mekanis dan tanpa pembakaran.

Rep: Idealisa Masyrafina)/ Red: Gita Amanda
General Manager Pal Oil Division KORINDO GROUP Luwy Leunufna (kiri) dan Manajer PR Korindo Group Yulian M Riza (kanan) membantah laporan yang menyatakan Korindo membakar hutan di Papua.
Foto: Korindo
General Manager Pal Oil Division KORINDO GROUP Luwy Leunufna (kiri) dan Manajer PR Korindo Group Yulian M Riza (kanan) membantah laporan yang menyatakan Korindo membakar hutan di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Grup Korindo membantah adanya pelanggaran lingkungan dalam pembukaan lahan perkebunan sawit di Papua. Sebelumnya hasil investigasi Greenpeace International dan Forensic Architecture, sebuah lembaga penelitian kolektif yang berbasis di Goldsmiths, London University mengungkap bahwa konglomerasi perkebunan Korea-Indonesia ini telah melakukan pembakaran hutan Papua untuk ekspansi perkebunan.

Tuduhan yang sama dilontarkan pada 2017 oleh sebuah LSM Amerika, Mighty Earth, yang mengajukan pengaduan ke FSC (Forest Stewardship Council). Menurut Manager Public Relation Korindo Group  Yulian M Riza, sama seperti Mighty Earth, tuduhan kelompok investigasi tersebut dapat ditindaklanjuti ke ranah hukum.

"Kami telah membawa LSM Mighty Earth, yang telah membuat pernyataan tersebut ke pengadilan Jerman, dan proses pengadilan sedang berjalan," ujar Riza dalam pernyataan resminya, Rabu (18/11).

Korindo mengklarifikasi dengan menyebutkan hasil investigasi FSC mengenai hal ini. FSC merilis pernyataan resmi setelah penyelidikan pada 23 Juli 2019 yang menyebutkan bahwa panel tidak menemukan adanya tuduhan tersebut.

Riza juga menunjukkan hasil investigasi sebelumnya yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke (Nomor Dokumen 522.2 / 0983 24 Agustus 2016) yang menyatakan bahwa pembukaan lahan dilakukan secara mekanis dan tanpa pembakaran. Menurut Riza, tidak seperti Forensic Architecture, Panel Investigasi FSC yang terdiri dari ahli kehutanan profesional yang berkualifikasi benar-benar pergi ke lokasi di Papua untuk melakukan pemeriksaan lapangan. Panel FSC menyertakan para profesional citra satelit.

"Klaim Forensic Architecture dalam laporan BBC dengan melihat foto-foto berumur 10 tahun, adalah badan penelitian hak asasi manusia bekerja dengan bayaran, dan sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang kehutanan. Mereka bukan badan terkait kehutanan atau kelapa sawit," ujarnya dalam siaran pers.

Selain itu pada tahun 2015, Grup Korindo telah melakukan pembayaran pelepasan hak ulayat kepada 10 marga seluas 16 ribu hektar yang berada di areal PT Tunas Sawa Erma Blok E sesuai kesepakatan dan jumlah yang disepakati bersama, termasuk dengan Petrus Kinggo yang menjadi narasumber BBC.

Sebelumnya investigasi menggunakan analisis spasial dengan citra satelit dilakukan untuk merekonstruksi kasus perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM di konsesi kelapa sawit Korindo di Papua, PT Dongin Prabhawa.

Forensic Architecture menggunakan metode analisis terkini untuk mengumpulkan data titik api di konsesi tersebut. Ini dilakukan bersama dengan rekaman video dari survei udara yang dilakukan oleh juru kampanye Greenpeace International pada tahun 2013.

Tim tersebut menemukan bahwa pola deforestasi dan kebakaran menunjukan pembukaan lahan dilakukan dengan menggunakan api. Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik menjelaskan, meski video diambil pada 2013, namun kebakaran di konsesi Korindo masih terjadi di tahun 2016.

"Masalah utamanya terletak pada adanya dugaan pembakaran yang disengaja," kata Kiki, dalam pernyataan Greenpeace.

Menurutnya, video ini telah menjadi bukti pelanggaran lingkungan dan sudah dilaporkan kepada KLHK pada 2016. Namun, laporan ini belum ada tindak lanjutnya. Padahal bukti-bukti tersebut dapat digunakan untuk menjerat pelaku pembakar hutan.

"Kolaborasi Greenpeace International dan Forensic Architecture ini memperkuat temuan sebelumnya. Kemudian publik berhak mengawal dan mengetahui hasil tindakan pemerintah,” tegas Kiki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement