Ahad 13 Dec 2020 03:08 WIB

Gadamer: Kesepahaman Interkultural dalam Konteks Pendidikan

Saat membaca sebuah teks kita tidak harus selalu mengikuti sudut pandang dari penulis

Red: Budi Raharjo
Sebagian peserta didik SMPN 6 Ungaran Satu Atap, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang terus mempersiapkan diri menghadapi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah melalui pembiasaan penerapan prokes di lingkungan belajarnya, Jumat (27/11).
Foto: Republika/bowo pribadi
Sebagian peserta didik SMPN 6 Ungaran Satu Atap, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang terus mempersiapkan diri menghadapi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah melalui pembiasaan penerapan prokes di lingkungan belajarnya, Jumat (27/11).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Cicilia Emita, Mahasiswi Magister Teknologi Pendidikan, Universitas Pelita Harapan

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan Information and Communication Technology (ICT) demikian luar biasa pesat dengan eskalasi dan akselerasi yang sedemikian luas dan cepat. Perkembangan ICT (Information & Communication Technology) yang luar biasa ini, semakin intensif situasi dan kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) bergerak. Tentu hal ini sangat mempengaruhi pendidikan di Indonesia pada umumnya dan aktivitas belajar mengajar di sekolah pada khususnya. Hal ini tentu menuntut kebijakan dan alternatif praksis pendidikan yang lebih uptodate agar pendidikan tetap relevan untuk anak bangsa.

Pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, tentu tidak hanya membawa dampak dibidang ekonomi, sosial dan politik melainkan juga bahkan secara khsusus membawa dampak dibidang pendidikan. Karena mesti social dan physical distancing maka serta merta pembelajaran mesti berubah menjadi daring. Sangatlah tidak mudah dalam waktu singkat pembelajaran mesti dilakukan dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sementara secara teknis penyediaan teknologi yang memfasilitasi proses pembelajaran tersebut butuh proses dan tidak murah serta rumit.

Belum lagi masalah mentalitas, kultural dan interaksi sosial berpengaruh pada model pola asuh orang tua pada anak di masa pandemi ini. Setiap anak, keluarga dan sekolah serta stakeholder lainnya dalam dunia pendidikan. Pendek kata menyelenggarakan PJJ atau pembelajaran daring tanpa garing di tengah pandemi tidaklah sederhana – rumit bahkan.

Sementara itu pandemi Covid-19 ini menambah lagi akselerasi dan eskalasi pesatnya perkembangan ICT karena semua tergagap dan terhenyak namun harus segera bangun dan bergumul dengan realitas yang ada. Pandemi mestinya menyediakan pula ruang untuk merenung – berefleksi sejenak dan tidak hanya sibuk mensiasati Pembelajaran Jarak Jauh – belajar daring tanpa garing, melainkan perlu menengok sisi lain diluar persoalan teknis administratif dan teknologi.

Dalam konteks pendidikan, meski semua negara mengalami hal yang serupa namun segera menemukan arah dan pilihan aktivitas yang jelas, alih-alih mengambil alternatif solusi yang konstruktif dan berkesinambungan serta kontekstual, Indonesia justru terjebak pada aktivitas tambal sulam tertatih-tatih dalam era digital dan online learning. Mestinya pembelajaran daring berlangsung tanpa membuat garing. Namun karena gelagapan dengan situasi dan kondisi VUCA serta pandemi yang berkepanjangan justru memperlihatkan ternyata arsitektur pendidikan baik dari fondasi filosofisnya maupun visi misi pendidikan serta grand design pendidikan yang utuh menyeluruh komprehensif tidak ditemukan.

Kebijakan politis soal pendidikan bahkan setelah reformasi lebih banyak diwarnai euforia “demokrasi” yang didengungkan padahal sarat dengan muatan kepentingan politis tertentu. Kebijakan Pendidikan yang mestinya menjadi pilar kemajuan peradaban bangsa Indonesia tersandera oleh silang sengkarut struktur sosial yang juga tersandera oleh kepentingan politis sektarian.

Kalau sistem dan struktur pendidikan terkooptasi dalam struktur sosial yang menyandera seluruh peri kehidupan berbangsa dan bernegara maka kiranya perlu merevitaslisasi dan menimba kembali inspirasi dari Paulo Freire: bagaimana pendidikan mestinya menjadi praksis pembebasan. Praksis pendidikan akan mengandaikan kesadaran kritis yang terbangun dan dialog lintas horizon kesepahaman sebagaimana dianjurkan oleh Gadamer (Hardiman, 2015).

Ilustrasi yang segera viral namun juga segera tenggelam oleh hal-hal viral lainnya di era digital ini, orang menjadi kehilangan waktu dan kesempatan untuk mencerna, hanya bisa terlongo, kaget dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain secara cepat beragam dan carut marut. Sebagai contoh: ilustrasi guru di Madura yang keliling ke rumah-rumah murid karena murid tidak punya HP, orang tua di ladang dan bekerja; banyak anak mengalami putus sekolah karena tidak ada HP; orang tua ‘berebut’ untuk bekerja sementara anak butuh untuk sekolah; kekerasan dalam rumah tangga meningkat dan berbagai macam hal yang mengenaskan, kejam dan menyedihkan terjadi. Bagaimana nasib dengan pendidikan alternatif yang diselenggarakan oleh banyak institusi secara mandiri oleh berbagai kelompok sukarelawan dan aktivis?

Rm Mangun (Pradipto, 2007) pernah berujar: mending pemerintah berpihak pada yang lemah, miskin dan terpinggirkan yang tidak memiliki modal budaya dan sosial yang memadai (Bourdieau, 1977). Pemerintah tidak perlu mengurusi sekolah atau institusi pendidikan yang elit dan dapat secara mandiri menyelenggarakan proses belajar mengajar. Apalagi justru membebani dengan berbagai aturan yang menjadi tali kekang tidak penting baik secara teknis maupun administratif. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pendidikan, guru dan institusi sekolah masih relevan untuk anak jaman di era digital ini dan tidak membiarkan diri  dikungkung oleh sistem yang merusak interaksi utuh dan alami – manusiawi.

Hermeneutik Filosofis ala Gadamer

Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg, Jerman pada tanggal 11 Februari 1900. Karya monumental Gadamer adalah bukunya yang berjudul “Wahrheit und Methode”. Gadamer mencoba melepaskan Hermaneutika dari ilmu-ilmu pengetahuan dan menghubungkannya dengan dimensi sosial. Bagi Gadamer memahami berarti “saling memahami” (Sichverstehen) yang juga memiliki arti kesepahaman (Einvertandnis).

Menurut Gadamer, saat membaca sebuah teks kita tidak harus selalu mengikuti sudut pandang dari penulis, melainkan justru kita harus dapat melihat dan memahami teks tersebut dari sudut pandang kita sendiri sebagai pembaca. Memahami tidak selalu berarti mengatasi keterasingan, melainkan menginterpretasi isi pikiran pengarang (Hardiman, 2015). Untuk dapat memahami kita tidak harus selalu melihat sejarah, melainkan justru perlu menyatukan hal-hal yang telah terjadi sebelumnya dengan situasi di masa kini, sehingga kita memiliki satu sudut pandang yang baru. “Kesadaran kita tidak berada “di luar” sejarah, melainkan bergerak “di dalam” sejarah.

Gadamer dan Konteks Kesepahaman

Ada beberapa langkah reflektif dari pemikiran Gadamer. Dari langkah antropologi, Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan universal untuk memahami orang lain. Memahami bukan sekedar persoalan kognitif dan informasi melainkan secara menyeluruh, merengkuh pribadi orang lain. Memahami tidak sekedar mengetahui misalnya tentang nama, asal usul,  jenis kelamin, pekerjaan dan lain sebagainya, melainkan  merengkuh sampai ke pribadi orang tersebut dengan memahami emosi, perilaku serta latar belakangnya.

Itulah sebabnya Gadamer berpendapat bahwa manusia adalah pemahaman itu sendiri. Tentu saja memahami di sini adalah proses pemahaman dalam konteks filosofis. Kekhasan pemikiran antropologis Gadamer yang berbeda dengan para filsuf yang lain adalah definisi Gadamer atas sosok manusia sebagai pemahaman, proses memahami dan kesepahaman.

Langkah reflektif etika yang dapat dipetik dari pemikiran Gadamer adalah manusia sebaiknya memiliki horizon yang luas agar tidak menjadi picik. Dengan memiliki horizon yang luas, manusia menjadi terbuka untuk mendengarkan orang lain dengan bijaksana dan tidak keras kepala dengan apa yang diyakininya. Horizon dapat diibaratkan  kita naik ke puncak bukit, semakin tinggi bukit yang kita daki maka horizon kita menjadi lebih luas dan menyeluruh.

Ketika seseorang hanya bersikeras dengan apa yang menjadi pendapatnya sendiri dengan misalnya mengatakan kata “pokoknya” maka manusia tersebut memperlihatkan sempitnya horizon yang dimiliki. Orang tersebut memiliki “ketidak-sepahaman” yang berlebihan sehingga mengabaikan “kesepahaman” yang menjadi prasyarat dalam interaksi sosial apalagi relasi timbal balik interkultural.

Orang yang picik karena horizon yang sempit akan menutup kemungkinan terjadinya fusi atau peleburan horizon yang sebetulnya dapat memperluas cakrawala horizon yang membangun kesepahaman yang dimiliki. Orang semacam ini akan mendegradasi atau menurunkan  martabat kemanusiaannya sendiri. Sebaliknya orang yang memiliki wawasan yang luas dan open minded (terbuka pemikirannya) akan dengan senang hati berusaha memahami horizon orang lain. Dengan memiliki horizon yang luas, orang menjadi terbuka untuk mendengarkan orang lain dengan arif dan tidak keras kepala dengan apa yang diyakininya. Dengan inilah seseorang akan semakin terbangun kesepahamannya dan jati dirinya sebagai manusia.

Langkah reflektif epistemologis berdasarkan pemikiran Gadamer dapat dicapai dengan melihat peran prasangka dalam pembentukan pemahaman. Kita perlu mengidentifikasi prasangka yang legitim dan  yang tidak untuk bisa memperoleh pemahaman yang tepat. Prasangka adalah sesuatu yang wajar. Prasangka ini merupakan kondisi yang memungkinkan pemahaman. Namun perlu ditelaah mana prasangka yang legitim dan mana yang tidak.

Contohnya ketika kita membaca suatu berita hoaks. Pasti ada prasangka dalam diri kita. Namun dengan prasangka itu kita perlu chek legitimasinya atau kebenarannya serta mencari data-data. Lalu kita didorong untuk menelaah berita tersebut lebih lanjut yang akhirnya membawa kita pada suatu pemahaman. Fusi antar berbagai horizon-horizon paling kentara ketika terjadi diskursus atau perbincangan tentang agama dan fenomena interkultural.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement