Sabtu 26 Dec 2020 09:18 WIB

Kontras: Penembakan Laskar FPI adalah Pelanggaran HAM

Penembakan itu menghina proses hukum dan mengingkari azas praduga tak bersalah.

Rep: Bambang Noroyono / Red: Ratna Puspita
Kordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti (kiri)
Foto: Republika/Prayogi
Kordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mengatakan, penembakan mati enam laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh kepolisian sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Ia juga mengatakan penembakan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran terhadap azas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan.

“Kontras melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya praduga tidak bersalah,” kata Fatia, dalam diskusi daring bertema ‘6 Nyawa dan Kemanusian Kita’, pada Jumat (25/12) malam. 

Baca Juga

Fatia mengatakan, ada beberapa aspek yang meyakinkan Kontras menilai insiden tol Japek Km 50 tersebut sebagai pelanggaran HAM. Ia mengatakan, Polri merupakan institusi resmi negara dalam penegakan hukum. 

Namun, ia mengatakan pembelaan diri kepolisian bahwa penembakan dilakukan sebagai upaya pembelaan diri merupakan keterangan sepihak, dan tak dapat dibuktikan. Ia pun menilai pembelaan diri itu sebagai upaya yang dipaksakan agar dipercayai publik.

Selain itu, ia mengatakan, tindakan yang tidak dapat dibuktikan menjadi sebuah penghinaan bagi proses hukum. "Hukum itu seperti tidak berguna untuk melakukan pembuktian atas dugaan tindak pidana (penyerangan). Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa adil. Karena, sudah tidak bisa dibuktikan, karena orang-orangnya (yang dituduh kepolisian menyerang) sudah dibunuh, dan meninggal,” kata Fatia. 

Fatia mengatakan, Kontras juga mempertanyakan dalih pembelaan diri dari kepolisian tersebut. Dalam melakukan penegakan hukum, Fatia mengatakan, kepolisian seharusnya hanya menembak untuk melumpuhkan lawan. 

Fatia mengacu pada Perakpolri 1/2009 yang berisikan aturan-aturan tentang pelumpuhan dengan senjata api. “Yang namanya pelumpuhan, ya jelas untuk melumpuhkan. Bukan untuk mematikan. Berarti di bagian tubuh yang memang tidak mematikan,” kata Fatia.

Akan tetapi, dia mengatakan, dari dokumentasi jenazah pascakejadian, luka-luka tembak di sekujur tubuh enam laskar FPI tersebut, jelas memperlihatkan bagian-bagian vital sebagai target tembakan. Kebanyakan di dada kiri yang menyasar jantung dan tak ada satupun luka bekas peluru tajam yang mendarat pada bagian-bagian yang dimaksud untuk melumpuhkan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement