Saturday, 11 Syawwal 1445 / 20 April 2024

Saturday, 11 Syawwal 1445 / 20 April 2024

Soal Mahalnya Kedelai, Pemerintah Harus Hadir Menjembatani

Rabu 06 Jan 2021 08:53 WIB

Red: Hiru Muhammad

Wakil Ketua MPR Syarief Hasan memberikan tanggapan atas aksi mogok pengrajin tahu tempe pelaku UMKM buntut mahalnya harga kedelai sejak (1/1/2021) hingga (3/1). Menurutnya, kenaikan harga kedelai ini adalah masalah klasik namun tidak sulit  untuk  diselesaikan oleh Pemerintah secepatnya.

Wakil Ketua MPR Syarief Hasan memberikan tanggapan atas aksi mogok pengrajin tahu tempe pelaku UMKM buntut mahalnya harga kedelai sejak (1/1/2021) hingga (3/1). Menurutnya, kenaikan harga kedelai ini adalah masalah klasik namun tidak sulit untuk diselesaikan oleh Pemerintah secepatnya.

Foto: MPR
Penyebab utama masalah klasik ini yakni belum tercapainya swasembada pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan memberikan tanggapan atas aksi mogok pengrajin tahu tempe pelaku UMKM buntut mahalnya harga kedelai sejak (1/1/2021) hingga (3/1). Menurutnya, kenaikan harga kedelai ini adalah masalah klasik namun tidak sulit  untuk  diselesaikan oleh Pemerintah secepatnya.

Syarief Hasan menilai, tahu dan tempe adalah salah satu makanan terbanyak di konsumsi karena bergizi tinggi, murah, dan mudah diakses masyarakat banyak. "Aksi mogok karena kenaikan harga bahan baku berbuntut pada masyarakat yang menjadi konsumen tahu tempe sehingga pemerintah harus hadir menjembatani persoalan ini," kata Syarief.

Memang, harga kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe melonjak tajam dari Rp.7.200 menjadi Rp.9.200 per kilogram (kg). "Kenaikan ini harus diintervensi oleh Pemerintah sehingga para pengrajin tahu tempe UMKM dapat tetap berproduksi dengan harga yg stabil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi konsumen tahu tempe.", ungkap Syarief Hasan.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini juga mengungkapkan penyebab utama masalah klasik ini yakni belum tercapainya swasembada pangan. Namun masalah yg penting lain adalah menjaga harga stabil dan bagaimana Pemerintah dapat menjaga supply dan demand kedelai sekalipun masih tergantung pada impor. Saat sekarang Pemerintah harus membuka kran Import kedelei harurs dibuka dan diberikan kepada koperasi2,asosiasi  Tempe dan Tahu bukan  hanya kepada pedagang2 besar yg menguasai pasar," kata Syarief.

Berdasarkan data yang dipublikasi Kompas pada (5/1), kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahun rata-rata mencapai 2,8 juta ton. Alokasinya, 70 persen untuk tempe, 20 persen untuk tahu, dan sisanya untuk bahan kecap. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai itu, Indonesia harus impor hingga 2,5 juta ton yang sebagian besar dari Amerika Serikat dan Kanada.

Menurut Syarief, Kementan harusnya kembali menggiatkan program swasembada pangan, khususnya pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. "Apabila kita swasembada pangan maka kita bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor yang menjadi salah satu penyebab naik turunnya harga pangan, seperti kedelai," kata Syarief Hasan.

Ia mendorong Pemerintah untuk segera membuat rencana strategis tersebut. "Pemerintah harus membuat pemetaan berapa ratus hektar lahan pembibitan dan penanaman kedelai sesuai jumlah kebutuhan pasar, hingga aspek-aspek teknis lainnya sehingga persoalan kedelai yang menjadi bahan baku utama tahu tempe tidak muncul kembali dan tidak meresahkan masyarakat dan para pelaku usaha UMKM," tutur Syarief.

 

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler