Rabu 13 Jan 2021 06:57 WIB

TNI dan Struktur Organisasi yang Mudah Berubah

Periode 2011-2017, surplus perwira membuat 30 Jenderal dan 330 Kolonel menganggur.

Red: Erik Purnama Putra
Kepala Staf Umum (Kasum) TNI yang kini menjadi Wamenhan, Letjen Herindra menghadiri peluncuruan buku
Foto: Puspen TNI
Kepala Staf Umum (Kasum) TNI yang kini menjadi Wamenhan, Letjen Herindra menghadiri peluncuruan buku

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Organisasi militer pada umumnya memiliki hakikat dirancang pendirinya agar tidak mudah berubah. Hal itu terkait dengan potensi peperangan membutuhkan sistem hirearki yang tegas, disiplin, dan tidak mudah goyah. Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai organisasi militer, mengapa sebuah angkatan bersenjata secara sadar mengubah institusi internalnya? Mengapa struktur TNI bisa berubah dengan mudah?

Pertanyaan itu bisa ditemukan jawabannya di buku 75 Tahun TNI, Evolusi Ekonomi Pertahanan, Operasi, dan Organisasi Militer Indonesia. Buku ini menjelaskan mengapa dan bagaimana TNI mengalami berbagai perubahan, baik itu sistem ekonomi pertahanan, operasi militer, serta infrastruktur personel sejak 1945 hingga 2020.

Berbeda dengan berbagai studi militer Indonesia lainnya, buku ini mengintegrasikan sumber-sumber sejarah, data set kuantitatif orisinal, dan teori perubahan militer dalam menyajikan analisis sistemik atas perubahan militer Indonesia-dan apa dampaknya bagi proses hubungan sipil-militer demokratis, serta kebijakan pertahnan secara luas. Buku ini hadir memberikan kontribusi dalam bidang studi hubungan sipil-militer, teori perubahan militer, serta kebijakan pertahanan secara umum.

Jika dianalisi, buku ini juga berusaha memecahkan salah satu teka-teki utama dalam kajian militer: mengapa organisasi militer berubah? Kajian historis yang dilakukan peneliti mulai 1945 hingga 2020 atau sepanjang 75 tahun menjadikan buku memuat informasi lengkap, yang bisa menjadi pegangan bagi siapa pun yang ingin membaca sejarah perjalanan TNI.

Karya tiga peneliti pertahanan Evan A Laksmana, Iis Gindarsah, Curie Maharani, ini memuat beberapa informasi sangat penting yang sulit diakses publik, bersumber dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) yang sekarang bernama Akademi Militer (Akmil). Misalnya, ada data tentang perimbangan etnis dan agama perwira periode lulusan 1945-1992. Di sini, terlihat jelas data yang tersaji merepresentasikan demografi penduduk Indonesia.

Dari 2.000-an lulusan Akmil, perwira beragama Islam disebutkan mencapai 80 persen, dan non-Islam sebanyak 20 persen. Pun perwira asal Jawa menyumbang 57 persen, dan non-Jawa berkontribusi 43 persen. Sedangkan untuk perwira tinggi (pati) atau posisi jenderal, baik bintang satu, dua, tiga, dan empat, mereka yang beragama Islam menyumbang 83 persen, dan sisanya non-Islam. Dari jumlah itu, pati asal Jawa berkontribusi 63 persen dan non-Jawa 37 persen.

Perimbangan etnis-agama tersebut dikatakan stabil setelah periode 1970-an. Mengapa bisa terjadi? Jawabannya kemungkinan diakibatkan peran Akabri terintegrasi yang mulai meluluskan perwira sejak 1960-an. Dulunya tiga angkatan dan Polri memiliki akademi tersendiri yang terpisah. Sistem pendidikan terintegrasi di Akabri tersebut dapat dikatakan memainkan peran 'penyeimbang' dan 'pemersatu' berbagai anggota kelompok etnis dan agama yang berbeda-beda.

Hebatnya kebijakan tersebut adalah, meskipun ada dominasi perwira berlabel Jawa dan Muslim di level perwira Angkatan Darat (AD), namun gesekan atau konflik internal yang didorong persoalan etnis dan agama cenderung tidak terlalu terdengar selama 50 tahun terakhir (halaman 321).

Tidak hanya itu, persoalan terkini yang dihadapi TNI juga diulas. Era perubahan yang ditandai berakhirnya Dwifungsi ABRI, yang membuat personel TNI tidak bisa lagi mendudukkan wakilnya di DPR ditambah perpanjangan usia pensiun perwira tinggi (pati) dari 55 tahun menjadi 58 tahun membuat banyak jenderal tidak memiliki jabatan. Tercatat selama periode 2011-2017, terjadi surplus perwira yang membuat sekitar 30 Jenderal dan 330 Kolonel setiap tahunnya harus nonjob.

Apa konsekuensi yang ditempuh pimpinan politik dan militer? Mau tidak mau mereka mencari solusi jangka pendek, yaitu memekarkan organisasi. Struktur dan satuan kewilayahan, tempur, bantuan tempur statusnya dinaikkan demi menghindari tekanan internal. Konsekuensinya banyak jabatan naik status, termasuk di Markas Besar (Mabes) TNI tersedia 57 posisi untuk bintang satu dari sebelumnya dijabat melati tiga. Tentu saja penambahan ruang jabatan juga diikuti struktur di Mabesad, Mabesal, dan Mabesau.

Kondisi itu menjadi kontradiksi jika merujuk pada era 80-an. Kala itu, Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani (1983-1988) malah menempuh jalan tidak populer, yaitu merampingkan struktur TNI, khususnya AD. Jumlah 16 Komando Daerah Militer (Kodam) dirampingkan tinggal menjadi 10 Kodam (sekarang ada 15 Kodam). Tiga Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) yang kala itu untuk jabatan pati bintang tiga juga dihapus.

Kini organisasi itu dihidupkan kembali sejak September 2019 dengan nama Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) yang bertujuan menyediakan ruang jabatan baru bagi pati nonjob. Konsekuensinya bertambah tiga jabatan pati bintang tiga di Mabes TNI dan diikuti bintang dua dan bintang satu yang jumlahnya mencapai puluhan. Alhasil, muncul anggapan struktur TNI sekarang menjadi gemuk, dan malah terkesan obesitas.

Memang penambahan ruang jabatan itu untuk sementara waktu meredam gejolak internal terkait macetnya tangga promosi. Di sini, penulis buku menyarankan pimpinan TNI perlu melakukan terobosan baru soal pengelolaan personel dan karier secara profesional agar proyeksi optimistis ke depan tidak menjadi masalah. Pada saat bersamaan, solusi pemekaran struktur organisasi TNI, apabila tidak dikomunikasikan dengan baik kepada elite politik dan masyarakat sipil, dapat berpotensi meningkatkan ketegangan hubungan sipil-militer.

Trio penulis mengeklaim, kekuatan buku adalah keberhasilan menyediakan pangkalan data komprehensi tentang evolusi TNI. Meskipun ada kendala, namun penyediaan pangkalan data merupakan sebuah terobosan akademik yang diharapkan mampu dikembangkan lebih lanjut untuk memperkaya kajian militer di Indonesia.

Yang menjadi nilai plus buku ini adalah tampilan daftar gambar dan tabel yang membuat pembaca menjadi mudah mencerna informasi yang ditampilkan. Dengan begitu, inti dari informasi yang disampaikan penulis dapat langsung dipahami pembaca.

Tidak mengherankan, Menteri Pertahanan periode 2009-2014 Prof Purnomo Yusgiantoro memberikan apresiasi atas penulisan buku yang membahas 75 tahun sejarah evolusi TNI dari tataran politis, strategis, taktis, dan operasional. "Penelitian meliputi aspek operasional, organisasi, dan ekonomi pertahanan. Buku ini dapat menjadi referensi bagi para akademisi, praktisi, dan siapa saja yang ingin mendalami kajian sector pertahanan di Indonesia," ucap Purnomo

Data yang diolah sesuai kaidah ilmiah, membuat buku ini layak menjadi referensi bagi studi tentang militer Indonesia, begitu pendapat Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) periode 2012-2014 sekaligus guru besar Universitas Pertahanan, Laksamana (Purn) Marsetio.

Patut diakui, buku ini berguna bagi pengamat dan praktisi kebijakan pertahanan Indonesia maupun pegiat masyarakat sipil serta komunitas peneliti. Para staf pengajar, dosen, serta mahasiswa ilmu sosial dan politik, baik sarjana maupun pascasarjana, juga dapat menggunakan buku ini dalam studi dan pembelajaran mereka terkait studi TNI maupun pertahanan.

Judul: 75 Tahun TNI, Evolusi Ekonomi Pertahanan, Operasi, dan Organisasi Militer Indonesia

Penulis: Evan A Laksmana, Iis Gindarsah, Curie Maharani

Penerbit: CSIS Pakarti Centre

Tebal: xxxiii+398 halaman

Tahun: 2020

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement