Kamis 14 Jan 2021 21:29 WIB

Badan HAM: 80 Warga Tewas dalam Pembantaian di Ethiopia

Badan HAM menyebut 80 orang yang meninggal usianya berkisar dua hingga 45 tahun

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
 Anak-anak Tigrayan yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia berdiri untuk berfoto di dekat tempat penampungan sementara di kamp pengungsi Umm Rakouba di Qadarif, Sudan timur, Senin, 7 Desember 2020.
Foto: AP/Nariman El-Mofty
Anak-anak Tigrayan yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia berdiri untuk berfoto di dekat tempat penampungan sementara di kamp pengungsi Umm Rakouba di Qadarif, Sudan timur, Senin, 7 Desember 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA - Komisi hak asasi nasional Ethiopia melaporkan lebih dari 80 warga sipil tewas dalam serangan terbaru di wilayah bagian barat negara, Rabu (13/1) waktu setempat. Korban tewas termasuk anak-anak berusia dua tahun.

Juru Bicara dan penasihat senior Komisi Hak Asasi Manusia Ethiopia (EHRC) Aaron Maasho mengatakan pembantaian terjadi pada Selasa (12/1) antara pukul 05.00 dan 07.00 waktu setempat. Serangan terjadi di wilayah Benishangul-Gumuz, wilayah yang berbatasan dengan Sudan dan Sudan Selatan.

Baca Juga

"Kami mendapat informasi lebih dari 80 orang meninggal yang usianya berkisar antara dua hingga 45 tahun," ujarnya seperti dikutip laman Aljazirah, Kamis (14/1).

Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab hingga saat ini. Dalam serangan mematikan itu juga belum teridentifikasi siapa identitas para penyerang. "Kami dapat memastikan pelaku penyerangan tersebut belum ditangkap oleh pihak berwenang," kata Maasho.

Serangan itu terjadi di daerah yang disebut Daletti, di zona Metekel Benishangul-Gumuz. Daerah tersebut memang telah dilanda oleh kekerasan berulang dalam beberapa bulan terakhir yang menewaskan ratusan orang.

Sekitar 207 orang tewas dalam satu serangan pada 23 Desember saja. Maasho juga mencatat ribuan orang telah mengungsi karena kekerasan yang terus berlanjut di Metekel.

"Kami menyerukan kepada otoritas federal dan regional untuk memperkuat koordinasi dan tindakan, termasuk di tingkat distrik, untuk mencegah serangan serupa terhadap warga sipil," ujar juru bicara EHRC itu.

Badan HAM tersebut merupakan badan yang berafiliasi dengan pemerintah tetapi independen. Perdana Menteri Abiy Ahmed telah berjuang untuk menegakkan ketertiban di Metekel atau menjelaskan apa yang mendorong kekerasan, meskipun mengunjungi daerah itu pada Desember dan memberdayakan pos komando untuk bertanggung jawab atas keamanan di sana.

Politisi oposisi menggambarkan kekerasan di Metekel sebagai bermotif etnis. Mereka menuduh kampanye yang ditargetkan oleh kelompok bersenjata etnis Gumuz terhadap anggota kelompok etnis lain di daerah itu, termasuk Amhara, kelompok terbesar kedua di Ethiopia.

Negara terpadat kedua di Afrika itu memang telah bergulat dengan kekerasan mematikan yang sering terjadi sejak Abiy ditunjuk pada 2018. Dia sejak itu mempercepat reformasi demokrasi yang melonggarkan kekuatan kekuasaanya pada persaingan regional.

Pemilu yang dijadwalkan tahun ini semakin mengobarkan ketegangan atas tanah, kekuasaan, dan sumber daya. Di bagian lain negara itu, militer Ethiopia telah memerangi pemberontak di wilayah Tigray utara selama lebih dari dua bulan dalam konflik yang telah menyebabkan sekitar satu juta orang mengungsi.

Pemerintah Ethiopia mengatakan tiga pejabat termasuk mantan partai berkuasa Tigray, mantan Menteri Luar Negeri Ethiopia Seyoum Mesfin tewas setelah mereka menolak untuk menyerah kepada militer. Pengerahan pasukan federal di Tigray telah menimbulkan kekhawatiran akan kekosongan keamanan di wilayah bergolak lainnya.

Ethiopia juga mengalami kerusuhan di wilayah Oromia. Negara tersebut kini menghadapi ancaman keamanan jangka panjang dari pejuang Somalia di sepanjang perbatasan timur yang rentan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement