Senin 18 Jan 2021 07:25 WIB

Ini Tujuh Catatan LPSK untuk Calon Kapolri

Catatan itu mulai dari mekanisme penegakan hukum hingga penanganan hoaks.

Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kiri) bersama Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai (kanan).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kiri) bersama Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki tujuh catatan mengenai sederet pekerjaan yang menanti kapolri baru. DPR RI telah menerima surat presiden tentang nama calon kepala Kepolisian Republik Indonesia, yakni Komjen Listyo Sigit Prabowo.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu memulai catatan tersebut dengan menyinggung mekanisme penegakan hukum, seperti apa yang akan diterapkan kapolri menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggota Polri. Catatan LPSK pada 2020, terdapat 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan, sementara di 2019 lebih tinggi dengan 24 permohonan.

Baca Juga

"Artinya, terjadinya penurunan sebesar 54 persen perkara penyiksaan pada 2020 dibanding 2019. Namun bila merujuk jumlah terlindung, pada 2020 terdapat 37 terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan," kata Edwin dalam keterangannya, Ahad (17/1).

Ia menyatakan peristiwa terakhir yang menarik perhatian dikenal dengan peristiwa KM 50 yang menewaskan enam Laskar FPI. "Rekomendasi Komnas HAM meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana. Sebaiknya Kapolri mencontoh KSAD yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di Peristiwa Intan Jaya," ujarnya.

Kedua, kata Edwin, bagaimana Kapolri menyikapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang terus meningkat beberapa tahun terakhir. Polda Metro Jaya di 2020 melansir telah menangani 443 kasus hoaks dan ujaran kebencian.

Sebanyak 1.448 akun media sosial telah dilakukan take down, sedangkan 14 kasus dilakukan penyidikan hingga tuntas. “Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya," kata Edwin.

Ketiga, bagaimana pendekatan restorative justice yang akan dikembangkan Polri soal kondisi penjara yang over kapasitas di mana jumlah napi yang masuk, tak berbanding lurus dengan kapasitas lapas. "Situasi ini sebaiknya disikapi Polri menggunakan pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana," ucap Edwin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement