Ahad 14 Feb 2021 10:20 WIB

Kendaraan Listrik dan Nasib Industri Otomotif Nasional

Bahan baku baterei mobil listrik sebagian besar tersedia di Tanah Air.

Red: Joko Sadewo
Mobil listrik Hongqi SUV E115 dipamerkan di International Motor Show (IAA) Frankfurt, Jerman, 10 Sept?ember 2019. Hongqi merupakan mobil mewah menyasar konsumen kelas atas.
Foto: EPA
Mobil listrik Hongqi SUV E115 dipamerkan di International Motor Show (IAA) Frankfurt, Jerman, 10 Sept?ember 2019. Hongqi merupakan mobil mewah menyasar konsumen kelas atas.

Oleh : Hiru Muhammad*

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa waktu lalu tersiar kabar Tesla telah mengajukan proposal terkait dengan rencananya membuka industri baterei bagi kebutuhan kendaraan listriknya.  Pemerintah Indonesia melalui Septian Hari Seto, selaku deputi koordinasi investasi dan pertambangan kementerian maritim dan investasi telah menerima proposal  tersebut.

Indonesia juga telah melakukan pembicaraan dengan perusahaan asal Cina, CATL dan LG Chem asal Korea untuk membahas rencana memproduksi baterei kendaraan listrik dari hulu hingga hilir. Meski belum diketahui secara pasti keputusan seperti apa yang akan diambil dari hal itu, namun industri kendaraan listrik di Tanah Air perlahan mulai bangkit.

Di mancanegara industri kendaraan listrik (EV) di Cina, Eropa dan sejumlah negara lainnya telah terlebih dahulu  berkembang pesat. Hingga penghujung tahun lalu Tesla berhasil menjual hampir 500 ribu unit kendaraannya di banyak negara. Keseriusan Tesla dalam menggarap pasar kendaraan listrik di Cina telah mendorong sejumlah pabrikan otomotif Eropa, AS dan Jepang mempersiapkan diri untuk bersaing ketat di pasar kendaraan tanpa timbal ini.  Apalagi Eropa telah mencanangkan dalam beberapa tahun mendatang akan menghentikan produksi kendaraan berbahan bakar fosil secara bertahap.

Di Indonesia sendiri meski produksi kendaraan listrik belum dimulai secara resmi, namun pemerintah telah menyiapkan sejumlah ketentuan terkait industri kendaraan listrik. Seperti Perpres Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterei yang menjadi dasar hukum kendaraan listrik di Tanah Air. Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 45 Tahun 2020 Tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai dan sejumlah aturan lainnya.

Membangun industri kendaraan listrik di Tanah Air bukanlah suatu yang mustahil, meski juga tidak mudah. Indonesia yang memiliki fasilitas industri otomotif yang maju dan sumber alam seperti nikel, bahan baku pembuat baterei kendaraan listrik yang cukup melimpah menjadi nilai tambah. Kesiapan aspek hukum saja tampaknya belumlah mencukup mengingat industri kendaraan listrik ini juga membutuhkan prasayarat lain, berupa ramah lingkungan. Industri baterei mobil listrik, menggunakan lithium ion dengan lithium nikel, kobalt, mangan dan alumunium. Baterei memiliki andil besar hingga 40 persen dari harga jual mobil listrik saat ini. Bahan baku tersebut sebagian besar tersedia di Tanah Air. Namun, di sisi lain limbah baterei kendaraan listrik yang sudah tidak terpakai dikategorikan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dapat mencemari lingkungan.

Hal ini selain menjadi perhatian serius pemerintah, juga kalangan industri otomotif. Terlebih perusahaan seperti Tesla, yang memproduksi kendaraan ramah lingkungan tentunya akan sangat memperhatikan isu penanganan limbah maupun lingkungan hidup agar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan reputasi perusahaan. Teslapun memberi isyarat bersedia melakukan kontrak jangka panjang selama aspek lingkungan menjadi prioritas penanganan.

Rencana kehadiran Tesla di Tanah Air setidaknya dapat menjadi informasi menarik disaat industri otomotif nasional sedang berupaya bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Pemerintah berupaya meringankan beban industri dengan memberikan insentif fiskal berupa Penurunan Tarif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor, terutama yang berkapasitas mesin kurang dari 1500 cc. Pemerintah berharap dengan insentif yang berlaku selama 9 bulan secara bertahap itu dapat menggairahkan kembali daya beli masyarakat. Besaran insentif ini akan dilakukan evaluasi setiap 3 bulan. Pulihnya industri otomotif juga akan berdampak pada industri turunan dan jumlah pekerja yang mencapai 1,5 juta orang.

Kebijakan tersebut meski disambut gembira kalangan industri, namun dikhawatirkan dapat berdampak pada bisnis mobil bekas. Apalagi fokus utama kebijakan tersebut adalah kendaraan kelas menengah ke bawah yang merupakan pasar terbesar penjualan otomotif di tanah Air. Tentunya ini akan menimbulkan reaksi para pedagang mobil bekas yang kini telah berkembang menjadi bisnis raksasa.

Hal lain yang tidak kalah menarik dan perlu pengkajian mendalam adalah mobil otonom yang dapat dipadukan dengan mobil terbang. Kendaraan masa depan yang selama ini hanya menghiasi film fiksi hollywood, diperkirakan akan menjadi primadona industri otomotif mendatang. Beberapa pabrikan otomotif dan IT dunia seperti Volkswagen, Airbus, Volocopter, Lilium, Daimler dan Intel telah mulai melakukan penjajakan kemitraan guna mengkaji hal tersebut lebih mendalam. Apabila ini terwujud, tentunya akan menjadi sebuah revolusi besar bagi industri otomotif dunia. Hal ini juga akan berdampak luas bagi sistem transportasi dan kehidupan global, termasuk dunia penerbangan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement