Senin 15 Feb 2021 08:26 WIB

Pemerintah Jangan Tutup Mata Kebebasan Sipil Terkebiri

Pengkritik ketakutan karena harus menghadapi serangan buzzer yang membabi buta.

Red: Erik Purnama Putra
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditemani Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal (Purn) Moeldoko berfoto bersama puluhan pegiat medsos, termasuk Permadi Arya alias Abu Janda, Denny Siregar, Eko Kuntadhi, hingga Sahal AS, yang dijuluki warganet sebagai buzzer.
Foto: Istimewa
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditemani Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal (Purn) Moeldoko berfoto bersama puluhan pegiat medsos, termasuk Permadi Arya alias Abu Janda, Denny Siregar, Eko Kuntadhi, hingga Sahal AS, yang dijuluki warganet sebagai buzzer.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengingatkan, pemerintah tidak menutup mata atas realitas kemunduran demokrasi dan kebebasan sipil yang terjadi saat ini.

"Aneh kalau pemerintah merasa butuh kritik, sedangkan para pengkritiknya ketakutan karena praktik kriminalisasi dan harus menghadapi serangan buzzer yang membabi buta. Tidak baik menutup mata pada realitas demokrasi seperti ini," kata Umam saat dikonfirmasi Republika di Jakarta, Senin (15/2).

Umam mengatakan, dengan berpura-pura tidak tahu pada realitas kemunduran demokrasi, pemerintah sama saja dengan bersikap diam atau mendiamkan praktik pengkebirian kebebasan sipil yang terjadi di depan mata. Padahal, kata dia, kebebasan sipil merupakan fondasi dari kuatnya pengawasan publik dalam sebuah proses politik dan pemerintahan.

Kalau kritisisme masyarakat dikebiri, sambung dia, pengawasan publik menjadi lemah. "Implikasinya, selain indeks demokrasi turun, praktik korupsi juga semakin merajalela. Para koruptor merasa bebas melakukan apa saja, karena seolah terlindungi," kata alumnus School of Political Science and International Studies University of Queensland, Australia tersebut.

Kondisi itu dibuktikan terjunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparency International pada akhir Januari 2021. IPK Indoinesia pada 2020 meraih skor 37 atau merosot tiga poin dibanding tahun sebelumnya. Dengan skor tersebut, Indonesia menempati peringkat 102 dari 180 negara di dunia.

Karena itu, Umam menekankan, pemerintah harus sadar dan melakukan langkah mitigasi yang serius dengan mencegah praktik politisasi penegakan hukum dan mobilisasi buzzer. Karena malah justru menciptakan kerusakan dalam tatanan demokrasi yang selama ini diperjuangankan bersama.

"Berpura-pura tidak tahu hanya menghasilkan pembusukan demokrasi. Pemerintah harus lebih tegas. Tertibkan elemen-elemen itu agar demokrasi tidak berjalan timpang," ucap Umam.

Sebagaimana diketahui, saat menyampaikan sambutan pada Hari Pers Nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, kritik masyarakat kepada pemerintah sangat diperlukan. Sementara itu, banyak anggota masyarakat dan para aktivis dari kalangan masyarakat sipil (civil society) merasa kebebasan sipil semakin terkebiri.

Hal itu mengacu sikap represif melalui kriminalisasi dan serangan buzzer yang membabi buta. Di sisi lain, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengeklaim, pemerintah tidak memiliki buzzer. Namun faktnya, masyarakat yang kritis kepada pemerintah menghadapi serangan-serangan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement